Deskripsi
Suasana : seorang guru membacakan hasil pengumuman pemenang lomba
tulis puisi
1. Guru : Anak-anak, tujuan lomba menulis puisi yang
setiap tahun telah kita adakan adalah agar kita tetap sadar bahwa kita memiliki
satu kekayaan yang tidak ternilai harganya, yaitu bahasa Indonesia.
2.
Karmen : (berbicara pada Cinta) Ta, loe pasti menang
deh, yakin.
3. Cinta : Ah masa sih (tersipu malu)
4.
Guru : Dan, dewan juri yang diketuai oleh Taufik
Bagaskoro alias saya sendiri.
5.
Milly : I love
you, Pak Taufik!
6.
Guru : I love
you too. (Milly celingukan) telah diputuskan bahwa pemenangnya adalah
Rangga.
Para siswa kecewa karena pemenangnya bukan Cinta, yang sudah sering
menjuarai lomba menulis puisi. Sementara itu, Rangga sebagai pemenang tidak
kunjung datang.
Analisis:
Pada tuturan (5) Milly melakukan campur kode kepada
Pak Taufik (guru) yaitu: ‘I love you, Pak Taufik!’, tuturan I love you yang merupakan bahasa Inggris
kemudian dirangkai dengan frasa ‘Pak Taufik’ yang merupakan sapaan dalam bahasa
Indonesia. Tuturan yang dilakukan Milly
tentu saja bermaksud untuk meledek gurunya, ia tak akan menyangka bila Pak
Taufik akan membalas ucapannya seperti pada tuturan (6) ‘I love you too. (Milly celingukan) telah diputuskan bahwa
pemenangnya adalah Rangga.’ Pak Taufik juga melakukan campur kode antara bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris. Pada tuturan ‘I
love you too’, diucapkan Pak Taufik untuk membalas tuturan Milly yang
menggunakan bahasa Inggris. Setelah menjawab tuturan Milly, Pak Taufik pun
melakukan campur kode dalam bahasa Indonesia ketika mengumumkan pemenang lomba
tulis puisi yaitu pada tuturan ‘telah diputuskan bahwa pemenangnya adalah
Rangga.’
Setting
: di perpustakaan.
Deskripsi
Suasana : Cinta hendak mewawancarai pemenang lomba menulis
puisi.
1.Cinta : Rangga ya? Gue mau ngucapin selamat ya buat elo.
2.Rangga : Selamat kenapa?
3.Cinta : Sebagai pemenang lomba puisi taun ini.
4.Rangga : Saya nggak pernah ikutan lomba puisi, apalagi jadi
pemenang. Maaf ya saya lagi baca.
5.Cinta : Gue kan belum selesai ngomong.
6.Rangga : Baru saja saya melempar polpen ke muka orang gara-gara
dia berisik di ruang ini. Saya nggak mau polpen itu balik ke muka saya
gara-gara saya berisik sama kamu.
7.Cinta : Gue pingin ngomong sebentar kok.
Analisis
Berdasarkan
percakapan antara Rangga dan Cinta, Rangga menggunakan ragam bahasa baku (Ragam
H) untuk mengatakan kata ganti bagi dirinya dan mitra tutur ketika
bercakap-cakap dan beberapa kata, walaupun Cinta sebagai mitra tuturnya
menggunakan ragam bahasa gaul (Ragam L). pada tuturan (1) Cinta memulai
pembicaraan pada Rangga dengan tuturan ‘Rangga ya? Gue mau ngucapin selamat ya
buat elo’. Cinta menggunakan ragam L yaitu dengan menggunakan diksi ‘gue’ untuk
menyebut dirinya, dan ‘elo’ untuk menyapa orang lain. Hal tersebut merupakan tuturan
yang biasa diucapkan anak remaja di Jakarta. berbeda dengan cinta, Rangga
menggunakan diksi ‘saya’ untuk menyebut dirinya, dan ‘kamu’ untuk menyapa orang
lain, hal tersebut terlihat pada tuturan (4) ‘saya nggak pernah ikutan lomba
puisi, apalagi jadi pemenang. Maaf ya
saya lagi baca’ dan (6) ‘Baru saja saya melempar polpen ke muka orang gara-gara
dia berisik di ruang ini. Saya nggak mau polpen itu balik ke muka saya
gara-gara saya berisik sama kamu.’ Rangga menggunakan tuturan yang mengandung
diglosia ragam H yang memiliki fungsi sosial yaitu untuk menciptakan jarak
dengan mitra tuturnya agar dirinya tidak diganggu.
Setting
: di luar perpustakaan.
Deskripsi
Suasana : Cinta hendak mewawancarai pemenang lomba menulis
puisi.
Cinta dan Rangga keluar ruangan.
1.Cinta : Ngapain di luar? Di sini aja deh.
2.Rangga : Ya udah deh, cepetan. Mau ngomong apaan?
3.Cinta : Mading mau mewawancara elo.
4.Rangga : Buat apa?
5.Cinta : Kita perlu profil elo sebagai pemenang lomba puisi
taun ini.
6.Rangga : Tapi saya kan sudah bilang, saya itu nggak pernah
ikutan lomba puisi.
7.Cinta : Ya,
terserah elo deh. Tapi, menurut jurinya elo yang menang.
8.Rangga : Ya kalau gitu
wawancara dewan jurinya.
9.Cinta : Ha? Maksud
elo?
10.Rangga
: Ya, jelas kan kata-kata gue!
11.Cinta
: Jadi elo nggak mau di wawancara nih?
12.Rangga :
Nggak!
Analisis
Rangga menggunakan diglosia ragam bahasa baku
(Ragam H) hanya untuk kata ganti bagi diri sendiri dan kata ganti untuk mitra
tutur, yaitu dengan sapaan ‘saya’ dan ‘kamu’ seperti pada tuturan (6) ‘Tapi
saya kan sudah bilang, saya itu nggak pernah ikutan lomba puisi’. Berbeda
dengan Cinta yang menggunakan kata ganti ‘gue’ dan ‘loe’ untuk menyapa dirinya
dan mitra tuturnya. Cinta sengaja menggunakan ragam tidak baku (Ragam L) karena
dia ingin mengajak Rangga untuk lebih komunikatif dan menjalin kedekatan
sebagai teman sebaya.
Setting
: di sekolahan
Deskripsi
Suasana : Rangga kehilangan buku “Aku” Kusumanjaya.
Pada tuturan (1) yang diucapkan Krebo ‘Men, loe nyari
apaan loe men?’ merupakan tuturan yang mengandung campur kode antara bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris yakni dengan menggunakan diksi ‘Men’ untuk
menyebut rekan laki-lakinya. Sapaan itu memiliki fungsi sosial untuk menimbulkan
keakraban dan kesan sebagai anak yang dianggap “gaul”.
6.
Cinta : Marah ya, predikatnya diambil? Nggak tau gue
akhir-akhir ini. Gue rada-rada nggak bisa tidur gitu, tau nggak sih loe
Analisis
Cinta melakukan tuturan dengan menggunakan campur kode
dengan bahasa Inggris ketika menyapa teman-teman perempuannya yaitu (2) ‘Hai girl?’, tuturan ini memiliki fungsi
sosial yaitu agar ia memiliki kedekatan dengan teman-temannya. Begitu juga yang
terjadi pada Maura, ia juga melakukan campur kode, yakni bahasa betawi dan
bahasa Inggris (3) ‘Kagak mau on time.
Kenapa sih akhir-akhir ini telat melulu?’. Maura menggunakan diksi dari bahasa
Betawi yaitu ‘kagak’ yang berarti ‘tidak’ dan diksi dari bahasa Inggris yaitu ‘on time’ yang berarti ‘tepat waktu’.
Campur kode yang dilakukan Mauren dapat berupa kebiasaan menggunakan kata dalam
bahasa asing yaitu on time yang
memang sudah lazim digunakan untuk menyebut kata ‘tepat waktu’. Selain itu,
diksi ‘kagak’ yang merupakan bahasa Betawi merupakan campur kode yang dilakukan
karena terpengaruh oleh keadaan lingkungan sekitar yang sebagian berbahasa
Betawi, sebab setting tuturan itu berada di Jakarta.
Menurut Dardjowidjojo (2005: 30), dari segi ilmu
pengetahuan, kajian dan penyelidikan mengenai bagaimana manusia mempersepsi
ujaran dapat dikatakan masih baru. Meskipun Willis (1829) dan Helmholtz (1859)
sudah mempelajari ciri-ciri fisik bunyi,
penyelidikan mengenai bagaimana kita mempersepsi ujaran baru bermula menjelang
Perang Dunia II (Gleason dan Ratner 1998: 109).
Perkembangan penyelidikan dalam bidang ini dimulai
dengan adanya kemajuan dalam bidang teknologi, terutama dengan terciptanya alat
telepon. Dari tahun 1936-39 Dudly yang bekerja di Bell Telephone Laboratory,
Amerika, memperbaiki mesin yang dinamakan vocoder.
Pada mulanya, kegunaan mesin ini adalah untuk menyampaikan sinyal melalui kabel
telepon jarak jauh. Akan tetapi, kualitasnya sebagai alat komunikasi tidak
cukup baik.
Pada tahun 1940-an perusahaan telepon ini
memperkenalkan spektograf, yaitu alat untuk merekam suara dalam bentuk
garis-garis tebal-tipis dan panjang-pendek yang dinamakan spektogram.
Penggunaannya masih sangat terbatas pada kebutuhan militer dan komersial.
Kualitas bunyinya semakin lama semakin baik dan peralatan untuk kajian bunyi
juga menjadi semakin canggih. Kini teknologi sudah dapat mengetahui dengan
tepat siapa pembicara dalam sesuatu rekaman.
Pada perkembangannya saat ini spektogram sangat
efektif dipakai untuk belajar bahasa asing. Spektogram digunakan oleh para
pembelajar bahasa asing yang ingin mengatakan tuturan sesuai dengan penutur
asli. Para pembelajar bahasa asing bisa mengetahui nada, intonasi, dan
penekatan sebuah ucapan penutur asli berdasarkan tebal tipis dan panjang
pendeknya garis yang terdapat pada spektograf.
Bahasa
Ibu Vs Bahasa Sang Ibu
Banyak orang salah
kaprah dalam menggunakan konsep tentang bahasa ibu, malah boleh
dikatakan bahwa di antara kalangan mahasiswa sendiri
konsep tentang bahasa ibu sering dicampuradukan dengan konsep tentang bahasa
sang ibu. Berbicara tentang bahasa ibu sebetulnyamengandung pengertian bahwa bahasa itu
pertama-tama digunakan anak dalam komunikasi setiap hari entah itu di rumah
maupun dalam lingkungan pergaulannya. Pemerolehan bahasa tidak serta merta membuat anak menguasai bahasa.
Setiap bahasa yang diajarkan kepada anak menjadi sangat kuat salah satunya,
dipengaruhi juga oleh lingkungan di sekitar yang memaksa sang anak untuk
menggunakan bahasa tersebut. Oleh karena itu bahasa ibu tidak harus sama
disebut sebagai bahasa sang ibu. Bahasa ibu adalah bahasa pertama yang dikuasai
anak dalam penggunaannya sehari-hari di dalam lingkungannya untuk menyampaikan
pikiran, perasaan dan segala kebutuhannya. Berbeda dengan bahasa sang ibu, ia
adalah bahasa yang sering digunakan ibu dalam komunikasi dengan anak tersebut,
seperti meninabobokannya, memanjakannya, dan menyuapinya makan.Bahasa sang
ibu mempunyai ciri-ciri khusus : (a) kalimatnya umumnya pendek-pendek, (b) nada
suaranya biasanya tinggi, (c) intonasinya agak berlebihan, (d) laju ujaran agak
lambat, (e) banyak redunsi (pengulangan), dan (f) banyak memakai kata sapaan. Namun
ciri-ciri tersebut semakin berkurang sesuai dengan perkembangan anak.
Terhadap konsep yang sudah dipaparkan di atas, simpulan yang didapat bahwa bahasa ibu tidak otomatis adalah bahasa daerah.
Dalam konteks Indonesia, yang memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan
dan bahasa nasional, bahasa indonesia bisa saja menjadi bahasa ibu atau bahasa
pertama (B1). Ada pernyataan yang juga salah tentang konsep bahasa pertama dan
kedua. Mereka menyebut bahasa daerah sama dengan bahasa pertama dan bahasa
indonesia adalah bahasa kedua. Hal ini tentu saja tidak benar, sebab ada kejadian anak yang dilahirkan dari orang tua yang berasal dari
daerah yang berbeda lantas hidup di kota yang terdiri dariorang-orang yang memiliki latar belakang
daerah yang sangat heterogen? Kembali kepada konsep yang dibangun,
bahwa bahasa ibu adalah bahasa pertama yang digunakan anak dalam berkomunikasi
dan berinteraksi dengan keluarga dan lingkungan bermainnya, maka sudah sangat
pasti bahwa bahasa indonesia adalah bahasa pertama atau bahasa ibu sang anak.
Terlepas dalam pemerolehan bahasa, sang anak mengenal bahasa sang ibu atau
bahasa sang bapak, itu tidak sertamerta membuat ia menguasai bahasa itu sebab
hakikat penguasaan bahasa, mengandaikan bahasa itu dipakai atau digunakan dalam
komunikasi dan interaksi dan hakikat bahasa pertama adalah seberapa besar stimulus
yang diberikan lingkungan terhadap anak dalam berkomunikasi. Jadi sekalipun ia
mengenal bahasa sang ibu atau bahasa sang ayah, belum tentu ia menguasai
keduanya sebabia akan lebih cenderung
menggunakan bahasa yang selalu ia gunakan dalam berkomunikasi dengan
teman-teman sebaya dan teman-teman bermainnya. Oleh karena itu sudah saatnya
kita bisa membedakan mana sebenarnya yang disebut sebagai bahasa ibu (bahasa
pertama) dan mana yang menjadi bahasa sang ibu serta mampu menegnal konsep yang
sesungguhnya tentang bahasa pertama dan kedua sehingga kita tidak salah kaprah
lantas serta mertamengatakan bahwa
bahasa daerah otomatis adalah bahasa ibu atau bahasa pertama.
Panjang Rata-Rata Ujaran
Periode perkembangan ditandai dengan peningkatan panjang
usia rata-rata ucapan, yang diukur dalammorfem. Panjang rata-rata ucapan, mean length of utterance (MLU)
adalah alat prediksi kompleksitas bahasa pada anak. MLU sangat berhubungan
dengan usia dan merupakan prediktor yang baik untuk perkembangan bahasa.
Cara menghitung ujaran anak adalah dengan mengambil sampel
ujaran dan menghitung jumlah morfem (terikat dan bebas). Cara menghitung
panjang ujaran anak adalah: (1) ambil sampel beberapa ujaran, (2) hitung jumlah
morfemnya, dan (3) bagilah jumlah morfem dengan jumlah ujaran. Misalnya,
terdapat sampel 100 ujaran, seandainya setelah dihitung dari 100 ujaran
tersebut ada 253 morfem, maka MLU adalah 253:100 = 2.5. Rambu-rambu yang
dipakai adalah, misalnya bentuk kompon (kereta api), verba tak teratur (drank),
dan jamak tidak teratur (children) dianggap satu morfem.
Terdapat korelasi yang tinggi antara MLU dan usia. MLU
akan meningkat dengan bertambahnya usia karena dua alasan. Pertama, kalimat
menjadi lebih panjang diduga karena kapasitas memori kerja anak memungkinkan
anak untuk merencanakan dan melaksanakan kalimat panjang. Kedua, anak sudah
memperoleh lebih banyak morfem terikat dan fungsi kata-kata.
MLU adalah rata-rata yang dihitung selama
diujarkannya kalimat yang panjang dan bervariasi. Oleh Brown dalam
Darjowidjojo (2005: 241), MLU ini dipakai untuk menentukan tahap pemerolehan
bahasa. Pada tahap 1, MLU antara 1.0-2.0, sekitar umur 12-26 bulan; pada tahap
II, MLU antara 2.0-2.5, sekitar umur 27-30 bulan, dan seterusnya. Misalnya
seorang anak dengan MLU 2 akan memiliki kalimat satu kata, kalimat dua kata,
kalimat tiga kata dan seterusnya sampai tahap kalimat lengkap dengan
strukturnya serta banyak kata dalam beberapa kalimat yang panjang.
Teori Sapir Whorf dan
Humboldt
Menurut Chaer
(2009:51), berbahasa adalah penyampaian pikiran atau perasaaan dari orang yang
berbicara mengenai masalah yang dihadapi dalam kehidupan budayanya. Jadi, kita
lihat berbahasa, berpikir, dan berbudaya adalah tiga hal atau tiga kegiatan
yang saling berkaitan dalam kehidupan manusia.
Wilhelm Von Humboldt, sarjana
jerman abad ke-19, menekankan adanya ketergantungan pemikir manusia pada
bahasa. Maksudnya, pandangan hidup dan budaya masyarakat ditentukan oleh bahasa
masyarakat itu sendiri. Anggota-anggota masyarakat itu tidak dapat menyimpang
lagi dari garis-garis yang telah ditentukan oleh bahasanya itu. Kalau salah
seorang dari anggota masyarakat ini ingin mengubah pandangan hidupnya, maka dia
harus mempelajari dulu satu bahasa lain. Maka dengan demikian dia akan menganut
cara berpikir (dan juga budaya) masyarakat bahasa lain. Von Humbolt berpendapat
bahwa substansi bahasa itu terdiri dari dua bagian. Bagian pertama berupa
bunyi-bunyi, dan bagian lainnya berupa pikiran-pikiran yang belum terbentuk.
Bunyi-bunyi dibentuk oleh lautform, dan pikiran-pikiran dibentuk oleh ideeform
atau innereform. Jadi, bahasa menurut Von Humboldt merupakan sintesis dari
bunyi (lautform) dan pikiran (ideeform).
Dari keterangan itu
bisa disimpulkan bahwa bunyi bahasa merupakan bentuk-luar, sedangkan pikiran
adalah bentuk-dalam. Bentuk-luar bahasa itulah yang kita dengar, sedangkan
bentuk dalam-bahasa berada di dalam otak. Kedua bentuk inilah yang
’’membelenggu’’ manusia, dan menentukan cara berpikirnya. Dengan kata lain, Von
Humboldt berpendapat bahwa struktur suatu bahasa menyatakan kehidupan dalam(
otak,pemikir) penutur bahasa itu
Edward Saphir
(1884-1939) linguis Amerika memiliki pendapat yang hampir sama dengan Von
Humboldt. Sapir mengatakan bahwa manusia hidup di dunia ini di bawah ’’belas
kasih’’ bahasanya yang telah menjadi alat pengantar dalam kehidupannya
bermasyarakat. Menurut sapir, telah menjadi fakta bahwa kehidupan suatu
masyarakat sebagian ’’didirikan’’ diatas tabiat-tabiat dan sifat-sifat bahasa
itu. Karena itulah, tidak ada dua buah bahasa yang sama sehingga dapat dianggap
mewakili satu masyarakat yang sama.
Benjamin Lee Whorf
(1897-1941), murid sapir, menolak pandangan klasik mengenai hubungan bahasa dan
berpikir yang mengatakan bahwa bahasa dan berpikir merupakan dua hal yang
berdiri sendiri-sendiri.
Setelah meneliti bahasa
hopi, salah satu bahasa Indian di California Amerika Serikat, dengan mendalam,
whorf mengajukan satu hipotesis yang lazim disebut hipotesis Whorf (atau juga
hipotesis Sapir-Whorf) mengenai relativitas bahasa. Menurut hipotesis itu,
bahasa-bahasa yang berbeda’’membedah’’ alam ini dengan cara yang berbeda,
sehingga terciptalah satu relativitas sistem-sistem konsep yang tergantung pada
bahasa-bahasa yang beragam itu.
Pengaruh bahasa terhadap pikiran dapat terjadi melalui
habituasi dan melalui aspek formal bahasa, misalnya grammar dan leksikon. Whorf
mengatakan “grammatical and lexical resources of individual languages
heavily constrain the conceptual representations available to their speakers”
(Grammar dan leksikon dalam sebuah bahasa menjadi penentu representasi
konseptual yang ada dalam pengguna bahasa tersebut). Selain habituasi dan aspek
formal bahasa, salah satu aspek yang dominan dalam konsep Sapir dan Whorf
adalah masalah bahasa mempengaruhi kategorisasi dalam persepsi manusia yang akan
menjadi premis dalam berpikir.
Berdasarkan hipotesis Sapir-Whorf itu dapatlah dikatakan
bahwa hidup dan pandangan hidup bangsa-bangsa di Asia Tenggara (Indonesia,
Malaysia, Filipina, dan lain-lain) adalah sama karena bahasa-bahasa mereka
mempunyai struktur yang sama. Sedangkan hidup dan pandangan hidup bangsa-bangsa
lain seperti Cina, Jepang, Amerika, Eropa, Afrika, dan lain-lain adalah
berlainan karena struktur bahasa mereka berlainan. Untuk memperjelas hal ini
Whorf membandingkan kebudayaan Hopi dan kebudayaan Eropa. Kebudayaan Hopi
dioraganisasi berdasarkan peristiwa-peristiwa (event), sedangkan kebudayaan Eropa diorganisasi berdasarkan ruang (space) dan waktu (time). Menurut kebudayaan Hopi kalau satu bibit ditanam maka bibit
itu akan tumbuh. Jarak waktu yang diperlukan antara masa menanam dan tumbuhnya
bibit tidaklah penting. Hal yang penting adalah peristiwa menanam dan peristiwa
tumbuhnya bibit itu. Sedangkan bagi kebudayaan Eropa jangka waktu itulah yang
penting. Menurut Whorf, inilah bukti bahwa bahasa mereka telah menggariskan
realitas hidup dengan cara-cara yang berlainan.
Untuk menunjukkan bahwa bahasa menuntun jalan pikiran
manusia, Whorf menunjukkan contoh lain. Kalimat see that wave dalam
bahasa Inggris mempunyai pola yang sama dengan kalimat see that house.
Dalam see that house kita memang bisa melihat sebuah rumah, tetapi dalam
kalimat see that wave menurut Whorf belum ada seorang pun yang melihat
satu ombak. Jadi, di sini kita seolah-olah melihat satu ombak karena bahasa
telah menggambarkan begitu kepada kita. ini adalah satu kepalsuan fakta yang
disuguhkan oleh satu organisasi hidup seperti ini; dan kita tidak sadar bahwa
pandangan hidup kita telah dikungkung oleh ikatan-ikatan yang sebenarnya dapat
ditanggalkan.
Teori
Eric Lenneberg vs Krahsen
Anak akan lebih cepat
menguasai bahasa jika ia memperoleh bahasa dalam masa emas atau periode ideal (critical
age) yaitu usia 6-15 tahun. Pada teori lain diasumsikan bahwa usia
kritis tersebut berkisar 0-6 tahun, namun pada intinya batasan periode ideal
yang dimaksud adalah prapubertas. Menurut Lanneberg (dalam Subyakto, 1992) pada
masa emas otak manusia masih sangat elastis sehingga memungkinkan seorang anak
memperoleh bahasa pertama dengan mudah dan cepat. Adapun pada usia pubertas
telah dicapai kematangan kognitif pada saat selesainya fungsi-fungsi otak
tertentu, khususnya fungsi verbal yang menjadi mantap di bagian otak sebelah
kiri. Hal inilah yang disebut lateralisasi. Masa kritislah yang bertanggung
jawab atas lateralisasi yang membuat proses pemerolehan bahasa secara alamiah
akan berkurang hingga akhirnya hilang sama sekali.
Lenneberg (1967)
mengatakan bahwa lateralisasi merupakan proses lambat yang mulai dialami anak
sekitar dua tahun sampai anak memasuki usia pubertas. Pada masa-masa ini,
anak-anak akan lebih mudah mempelajari bahasa. Periode tersebut sering dikenal sebagai
critical period, yakni suatu periode
biologis yang diprogram untuk mengakhiri masa kemampuan bahasa.
Lenneberg (1967)
mengatakan bahwa lateralisasi itu sudah lengkap sekitar masa pubertas.
Sedangkan peneliti lain mengatakan bahwa hal itu terjadi pada usia lebih awal.
Krahsen (1970) mengatakan bahwa perkembangan lateralisasi itu sudah punah pada
usia lima tahun. Sesudah masa adolesen, manusia yang memperoleh bahasa harus
melalui perjuangan yang keras. Hal itu disebabkan otak manusia kehilangan
plastisitasnya untuk belajar bahasa. Masa kritis sering dikaitkan dengan
lateralisasi bahasa. Pada masa kritis, sedikit demi sedikitbelahan otak sebelah kanan dan sebelah kiri
memfungsikan saraf otaknya dengan sangat baik, termasuk dalam kemampuan
berbahasa. Otak memiliki tingkat kematangan untuk mengoordinasi berates otot
kecil yang mengendalikan artikulasi ujaran.
Memori
Pembagian jenis ingatan
yang paling umum dibedakan menjadi tiga, yakni ingatan sensorial, ingatan
jangka pendek, dan ingatan jangka panjang (Suudi, 2011:67). Menurut Winfred
(2009: 284), perbedaan jenis ingatan yang bergantung berapa lama berlangsungnya
ingatan ini tentu membuat kita membayangkan ada tiga tempat penyimpanan berbeda
yang berlokasi di tempat yang berbeda, namun tidak perlu membayangkan seperti
itu. Ketiga tempat penyimpanan itu adalah variabel-variabel perantara dan
penerimaan kita bergantung pada apakah kita bisa menggunakannya untuk
memprediksi hukum memori, bukan bergantung pada di mana letak semua itu.
Menurut Winfred
(2009:284), ingatan sensorial mengandung pengertian bahwa semua informasi yang
tiba melalui indera, diregistrasi atau dicatat terlebih dahulu. Beberapa sumber
mengatakan bahwa apa yang ditangkap oleh ingatan sensorial tidak hanya
informasi visual, tetapi yang lewat keempat indera lainnya juga, seperti indera
pendengaran, indera peraba, indera rasa, dan indera cium. Ingatan sensorial
hanya mampu menahan informasi selama beberapa mili detik. Ingatan sensorial
pada prinsipnya adalah kesadaran bahwa salah satu indera telah menerima sebuah
informasi. Buktinya sering kita lihat pada kehidupan sehari-hari. Ketika kita
melihat ruangan kelas kita tahu bahwa di sana ada meja dan kursi, tapi kita
tidak ingat sama sekali lukisan apa yang dipajang di kelas itu atau jumlah meja
dan kursi yang ada di sana. akan tetapi yang jelas adalah kegiatan yang
dilakukan oleh memori sensorial ini merupakan kegiatan menangkap masukan dengan
indera.
Ingatan sensorial
menyimpan informasi dalam waktu yang amat singkat, tempat penyimpanan kedua
menyimpan informasi dengan lebih lama, ini disebut ingatan jangka pendek.
Contoh paling umum dari informasi yang tersimpan dalam jangka pendek adalah
nomor telepon yang baru kita lihat di buku telepon lalu sengaja kita ingat
sebentar untuk kita telepon. Informasi tersebut tidak diingat secara permanen,
dalam kenyataannya informasi tersebut sering terlupakan. Namun, disbanding
ingatan sensorial, hal itu tersimpan cukup lama.
Ingatan jangka panjang
memiliki kapasitas yang tidak terbatas dan tidak ada hal yang hilang darinya.
Bila kita melupakan sesuatu yang pernah ada di dalam wadah jangka panjang,
sebabnya adalah karena kita tidakbisa menemukannya lagi, namun hal itu masih
ada di sana, tersedia untuk ditemukan jika kita bisa memilih strategi pencarian
yang tepat untuk memanggilnya kembali.
Bila sebuah
stimuli/informasi masuk ke ingatan sensorial, tanpa mendapat perhatian khusus,
akan terjadi hilangnya informasi tadi, atau dalam kehidupan sehari-hari disebut
lupa. Sama halnya bila informasi yang sudah masuk ke ingatan jangka pendek
tidak diulang-ulang maka informasi akan hilang. Yang dimaksud dengan diulang,
tidak harus benar-benar melakukan hafalan. Pengulangan bisa saja terjadi tanpa
disengaja, misalnya suatu informasi sering digunakan kembali. Awalnya pasti
informasi itu masih hilang timbul, tapi karena sering dipanggil kembali, dia
akan menancap secara lebih kuat di ingatan jangka pendek.
Dari uraian tersebut,
didapat bahwa ciri-ciri ingatan jangka panjang adalah : (1) wadah utama
informasi, (2) kapasitasnya dapat dikatakan tak terbatas, (3) kurun waktu
bertahannya informasi relatif jauh lebih lama daripada ingatan jangka pendek,
bergantung dari beberapa kondisi seperti pengulangan dan mendapat perlakuan
medalam yaitu dengan menyimpan informasi secara sistematis.
Pentingnya
Hafalan dalam Belajar
Mengingat merupakan
kemampuan memanggil kembali yang telah lalu, yang mencakup sangat banyak hal,
yaitu semua informasi yang diterima melalui pancaindera yang telah melalui
proses hingga masuk ke ingatan jangka panjang. Namun, mengingat tidak semata-mata
memanggil kembali informasi tetapi merupakan proses klasisfikasi dan juga
pengorganisasian informasi yang ada pada ingatan jangka panjang.
Ingatan dan belajar
memiliki hubungan timbale balik. Ingatan berperan penting karena berfungsi
menyimpan dan memanggil kembali (mengingat) semua informasi yang ditangkap.
Belajar memerlukan informasi yang telah ditangkap. Belajar memerlukan informasi
yang yang telah tersimpan di ingatan karena dalam belajar, kita menghubungkan
sesuatu yang telah kita pelajari dengan informasi baru. Belajar tidak sekadar
mengingat tetapi juga membuat kerangka berpikir dalam melakukan
asosiasi-asosiasi tadi. Makin luas jaringan informasi yang dimiliki seseorang,
makin mudah orang mengaitkan informasi baru yang sudah ada. Ketika seorang
pembelajar sudah hafal (melakukan pengulangan sampai masuk pada ingatan jangka
panjang) irregular verb dan paham
konsep past tense maka ia akan mudah
membuat kalimat bentuk lampau. Artinya, dengan berbekal informasi jangka
panjang, orang menjadi tahu sesuatu yang baru.