Indonesia

Bangga Berbahasa Indonesia

Indonesia

Bangga Berbahasa Indonesia

Indonesia

Bangga Berbahasa Indonesia

Indonesia

Bangga Berbahasa Indonesia

Indonesia

Bangga Berbahasa Indonesia

Rabu, 21 Agustus 2013

Bahasa Kiasan dalam Cerpen “Sepotong Senja untuk Pacarku” karya Seno Gumira Ajidarma


Pendahuluan
Seno Gumira Ajidarma (SGA) adalah seorang wartawan yang sering menulis cerita pendek, puisi, dan esai. Ia terkenal dengan “tulisan terselubungnya” yang sebenarnya memberikan sindiran pada keadaan politik dan sosial. Melalui bahasa-bahasa kias, ia mengungkapkan kebenaran yang tersembunyi tentang fenomena sosial.
Pengguanaan bahasa kias sangat dominan pada cerpen “Sepotong Senja untuk Pacarku” (SSUP), yang merupakan cerpen pilihan Kompas pada tahun 1993. Bahasa kias merupakan bahasa pembandingan. Istilah bahasa kias atau kiasan ini merupakan terjemahan dari figure of speech. Menurut Kridalaksana (1994:85), bahasa kiasan disebut figure of rhetoric atau rhetoric figure yaitu alat untuk memperluas makna kata atau kelompok kata untuk memperoleh efek tertentu dengan membandingkan kata atau mengasosiasikan dua hal.
Penggunaan gaya bahasa kias seperti diksi senja menjadi hal yang terus menerus diceritakan pada cerpen SSUP. SGA menggambarkan seseorang yang ia sebut sebagai “si aku” karena sudut pandang penceritaan menggunakan sudut pandang orang pertama serba tahu, yang berusaha dengan sangat keras untuk memberikan sepotong senja untuk pacarnya walau harus dikejar-kejar oleh polisi dan dianggap bersalah.
Si aku menganggap bahwa dunia sudah terlalu penuh dengan kata-kata tak bermakna di dunia maka ia ingin meberikan sesuatu yang nyata untu Alina pacarnya, yakni berupa sesuatu yang nyata berwujud sepotong senja.
Penggambaran Alina sebagai nama kekasih si aku, dirasa hanya sebagai kiasan, yakni perlambang. Makna kekasih yang sebenarnya san gat luas, bisa jadi kekasih merupakan sesuatu yang dikasihi seperti negara atau bangsa. Si aku rela dikejar-kejar polisi dan dianggap bersalah demi mengungkapkan sesuatu yang nyata melalui perlambang senja.
Sedangkan senja bisa jadi merupakan sebuah perlambang dari sebuah harapan, yakni kebenaran yang hakiki di tengah suasana yang tidak memihak pada kebenaran. Penggambaran senja yang muncul ketika hari hamir berakhir merupakan harapan yang hampir saja usai tapi bukan berarti harapan itu hilang.
Ironi kehidupan sosial merupakan hal yang sering diangkat dalam novel karya Seno Gumira Ajidarma. Pada artikel ini, kajian gaya bahasa kiasan tidak difokuskan pada penggunaan jenis gaya bahasa tertentu tetapi lebih difokuskan pada banyaknya gaya bahasa kiasan yang digunakan dalam keseluruhan cerita. Dengan demikian penggunaan gaya bahasa tertentu yang tidak menimbulkan efek penceritaan tidak akan dibahas.

Gaya Bahasa Perbandingan pada Cerpen “Sepotong Senja untuk Pacarku”
Sejak awal cerita Sepotong Senja untuk Pacarku (SSUP) gaya bahasa kiasan banyak digunakan. Gaya bahasa kiasan digunakan untuk mendeskripsikan sepotong senja yang dicuri oleh si aku untuk pacarnya. Bahkan pencurian sepotong senja dijadikan sebagai sumber penceritaan dalam cerpen tersebut. Gaya bahasa itu digunakan untuk mendeskripsi senja yang dijadikan perlambang oleh tokoh aku. Bagi si aku, sudah terlalu banyak kata-kata tak bermakna di dunia yang ternyata, tidak mengubah apa-apa. Si aku tidak ingin menambah kata-kata yang sudah tak terhitung jumlahnya, si aku ingin memberikan sesuatu yang nyata kepada pacarnya. Gambaran senja sebagai perlambang bukti rasa cinta si aku terdapat pada kutipan-kutipan berikut ini

Bersama surat ini kukirimkan padamu sepotong senja–dengan angin, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya keemasan.
…..
Kukirimkan sepotong senja untukmu Alina, bukan kata-kata cinta. Kukirimkan padamu sepotong senja yang lembut dengan langit kemerah-merahan yang nyata dan betul-betul ada dalam keadaan yang sama seperti ketika aku mengambilnya saat matahari hampir tenggelam ke balik cakrawala.
……
Kemudian tiba-tiba senja dan cahaya gemetar. Keindahan berkutat melawan waktu dan aku tiba-tiba teringat padamu.
“Barangkali senja ini bagus untukmu,” pikirku. Maka kupotong senja itu sebelum terlambat, kukerat pada empat sisi lantas kumasukkan ke dalam saku. Dengan begitu keindahan itu bisa abadi dan aku bisa memberikannya padamu.


Kutipan cerpen tersebut termasuk dalam majas alegori, yaitu gaya bahasa untuk mengungkapkan suatu hal melalui kiasan. Sepanjang cerita, Seno Gumira Ajidarma (SGA) menggunakan diksi senja untuk menggambarkan sesuatu yang indah yang akan ia berikan untuk orang yang paling ia cintai, yakni kekasihnya. Efek penggunaan gaya bahasa alegori pada kutipan tersebut adalah estetis. Hal tersebut terlihat dengan jelas pada kalimat: Kukirimkan sepotong senja untukmu Alina, bukan kata-kata cinta terdapat perulangan bunyi vokal akhir a pada kata terakhir klausa yaitu Alina dan cinta.
SGA menggambarkan senja seolah harapan yang nyata. Hal itu terlihat pada kutipan: Kukirimkan padamu sepotong senja yang lembut dengan langit kemerah-merahan yang nyata dan betul-betul ada dalam keadaan yang sama seperti ketika aku mengambilnya saat matahari hampir tenggelam ke balik cakrawala. Ketika matahari hampir tenggelam, di sanalah ada senja, yakni sesuatu yang masih bertahan sebelum hari menjadi gelap dan hampir semua orang menamatkan harinya. Senja masih ada dan bertahan, itulah yang disebut harapan.
“Semua itu memang tidak perlu. Senja yang bergetar melawan takdir membiaskan cahaya keemasan ke tepi semesta. Aku sering malu sendiri melihat semua itu. Alina, apakah semua itu mungkin diterjemahkan dalam bahasa?”

Pada kutipan di atas, makin jelas terlihat bahwa SGA menggunakan majas alegori dalam menggambarkan senja sebagai sepotong asa yang berani melawan takdir. Menanti senja adalah suatu keberanian, bahwa masih ada harapan sebelum hari usai dan malam menjelang.
Pada cerpen SSUP, juga terdapat gaya bahasa personifikasi untuk menggambarkan ruang dan waktu yang dinikmati oleh si aku. Gaya bahasa personifikasi adalah gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan (Pradopo, 1993:75). Gaya personifikasi sebenarnya merupakan corak khusus dari metafora yang mengiaskan benda-benda mati yang diandaikan hidup sehingga mampu bertindak atau berbuat seperti manusia (Supriyanto, 2011:69). Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut ini.

Sore itu aku duduk seorang diri di tepi pantai, memandang dunia yang terdiri dari waktu. Memandang bagaimana ruang dan waktu bersekutu, menjelmakan alam itu untuk mataku. Di tepi pantai, di tepi bumi, semesta adalah sapuan warna keemasan dan lautan adalah cairan logam meski buih pada debur ombak yang menghempas itu tetap saja putih seperti kapas dan langit tetap saja ungu dan angin tetap saja lembab dan basah, dan pasir tetap saja hangat ketika kuusapkan kakiku ke dalamnya.

Kutipan Memandang bagaimana ruang dan waktu bersekutu, menjelmakan alam itu untuk mataku menunjukkan bahwa SGA mengumpamakan ruang dan waktu yang bersekutu bagaikan tindakan yang dilakukan oleh manusia. Selain personifikasi, SGA juga menggunakan gaya bahasa simile pada kutipan Di tepi pantai, di tepi bumi, semesta adalah sapuan warna keemasan dan lautan adalah cairan logam meski buih pada debur ombak yang menghempas itu tetap saja putih seperti kapas dan langit tetap saja ungu dan angin tetap saja lembab dan basah, dan pasir tetap saja hangat ketika kuusapkan kakiku ke dalamnya. Jelas sekali, SGA mengumpamakan semesta seperti sapuan warna keemasan dan laut yang seperti cairan logam.

Di ujung gorong-gorong, di tempat cahaya putih itu, ada tangga menurun ke bawah. Kuikuti tangga itu. Cahaya semakin terang dan semakin benderang. Astaga. Kamu boleh tidak percaya Alina, tapi kamu akan terus membacanya. Tangga itu menuju ke mulut sebuah gua, dan tahukah kamu ketika aku keluar dari gua itu aku ada di mana? Di tempat persis sama dengan tempat di mana aku mengambil senja itu untukmu Alina. Sebuah pantai dengan senja yang bagus: ombak, angin, dan kepak burung? tak lupa cahaya keemasan dan bias ungu pada mega-mega yang berarak bagaikan aliran mimpi. Cuma saja tidak ada lubang sebesar kartu pos. Jadi, meskipun persis sama, tapi bukan tempat yang sama.

Aku berjalan ke tepi pantai. Tenggelam dalam guyuran alam yang perawan. Nyiur tentu saja, matahari, dan dasat lautan yang bening dengan lidah ombak yang berdesis-desis. Tak ada cottage, tak ada barbeque, tak ada marina.

“Semua itu memang tidak perlu. Senja yang bergetar melawan takdir membiaskan cahaya keemasan ke tepi semesta. Aku sering malu sendiri melihat semua itu. Alina, apakah semua itu mungkin diterjemahkan dalam bahasa?”

Gaya bahasa metafora, yakni gaya bahasa yang membandingkan dua hal yang berbeda juga terdapat pada cerpen SSUP. Gaya bahasa metafora terdapat pada kutipan Tangga itu menuju ke mulut sebuah gua, dalam guyuran alam yang perawan, lidah ombak yang berdesis-desis merupakan gaya bahasa yang menimbulkan kesan estetis dan mampu menimbulkan imajinasi tentang setting pada SSUP.

Gaya Bahasa Penegasan pada Cerpen “Sepotong Senja untuk Pacarku”
Selain menggunakan gaya bahasa yang menyatakan perbandingan, SGA juga menggunakan majas elipsis dan majas metonimia untuk memunculkan kesan estetis. Hal tersebut terlihat pada kutipan di bawah ini.

Sirene polisi mendekat dari belakang. Dengan pengeras suara polisi itu memberi peringatan.
“Pengemudi mobil Porsche abu-abu metalik nomor SG 19658 A, harap berhenti. Ini Polisi. Anda ditahan karena dituduh telah membawa senja. Meskipun tak ada aturan yang melarangnya, tapi berdasarkan…”
Aku tidak sudi mendengarnya lebih lama lagi. Jadi kubilas dia sampai terpental keluar pagar tepi jalan. Kutancap gas dan menyelip-nyelip dengan lincah di jalanan.
…..

SGA menggunakan diksi Porsche yang termasuk dalam majas metonimia yang merupakan gaya bahasa yang menggunakan nama merek atau atribut untuk menyebut suatu benda. Penggunaan diksi Porsche dinilai lebih estetis daripada hanya menggunakan kata mobil. Selain itu, SGA juga menggunakan majas elipsis dalam gaya penceritaannya. Majas ellipsis merupakan gaya bahasa yang menghilangkan beberapa unsur kalimat, unsur-unsur yang hilang tersebut mudah ditafsirkan oleh pembaca. Pada kutipan di atas, SGA menuliskan kalimat yang tidak selesai, hal itu ditunjukkan pada kalimat “Meskipun tak ada aturan yang melarangnya, tapi berdasarkan…” memang sengaja tidak dilanjutkan, hal itu karena si aku memang tidak ingin mendengar kelanjutannya lagi, si aku sudah bisa memprediksi apa yang akan dikatakan oleh polisi.
Gaya bahasa repetisi juga terdapat dalam cerpen SSUP, yakni pengulangan kata, frasa, atau kalimat yang bertujuan untuk menimbulkan penekanan.

Aku sudah berniat memberikan senja itu untukmu dan hanya untukmu saja Alina.

Dari radio yang kusetel aku tahu, berita tentang hilangnya senja telah tersebar ke mana-mana. Dari televisi dalam mobil bahkan kulihat potretku sudah terpampang.


Pada kalimat Aku sudah berniat memberikan senja itu untukmu dan hanya untukmu saja Alina terdapat pengulangan untukmu yang berfungsi untuk memberikan penekanan bahwa usaha si aku untuk mengambil senja hanya untuk diberikan pada Alina. Gaya bahasa repetisi juga terdapat pada kutipan Dari radio yang kusetel aku tahu, berita tentang hilangnya senja telah tersebar ke mana-mana. Dari televisi dalam mobil bahkan kulihat potretku sudah terpampang, terdapat pengulangan kata dari yang berfungsi memberi penekanan bahwa berita tentang hilangnya senja memang sudah tersiar dan sangat menghebohkan.
Gaya bahasa selanjutnya yakni retoris yang merupakan gaya bahasa yang mengandung pertanyaan tetapi jawabannya sudah terkandung dalam pertanyaan itu. Seperti pada kutipan berikut.

Aduh. Baru hilang satu senja saja sudah paniknya seperti itu. Apa tidak bisa menunggu sampai besok? Bagaimana kalau setiap orang mengambil senja untuk pacarnya masing-masing?

SGA menggunakan gaya bahasa retoris, justru untuk memberikan penegasan bahwa hilangnya sepotong senja saja sudah membuat heboh, padahal senja diibaratkan sebagai sebuah kebenaran yang terungkap namun tak banyak yang memihak pada terungkapnya kebenaran itu. Pertanyaan Apa tidak bisa menunggu sampai besok? Bagaimana kalau setiap orang mengambil senja untuk pacarnya masing-masing? Memang tidak perlu dijawab karena pembaca tentu sudah tahu sendiri jawabannya.

Penutup
Gaya bahasa kias yang terdapat dalam cerpen “Sepotong Senja untuk Pacarku” terdiri atas gaya bahasa yang menyatakan perbandingan dan penegasan. Gaya bahasa yang menyatakan perbandingan terdiri atas gaya bahasa personifikasi, alegori, simile, dan metafora. Gaya bahasa yang menyatakan penegasan terdiri atas gaya bahasa metonimia, ellipsis, retoris, dan repetisi. Gaya bahasa itu berfungsi untuk memberikan kesan figuratif yang mempu menimbulkan bahasa yang estetis.

Daftar Pustaka

Kridalaksana, Harimurti. 1984. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Pradopo, Rahmat Djoko. 1993. Pengkajian Puisi. Cetakan Ketiga. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Supriyanto, Teguh. 2011. Kajian Stilistika dalam Prosa. Yogyakarta: Elmatera Publishing.


Lampiran
Sepotong Senja untuk Pacarku
Seno Gumira Ajidarma

Alina tercinta,
Bersama surat ini kukirimkan padamu sepotong senja–dengan angin, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya keemasan. Apakah kamu menerimanya dalam keadaan lengkap?

Seperti setiap senja di setiap pantai, tentu ada juga burung-burung, pasir yang basah, siluet batu karang, dan barangkali juga perahu lewat di jauhan. Maaf, aku tidak sempat menelitinya satu persatu. Mestinya ada juga lokan, batu yang berwarna-warni, dan bias cahaya cemerlang yang berkeretap pada buih yang bagaikan impian selalu saja membuat aku mengangankan segala hal yang paling mungkin kulakukan bersamamu meski aku tahu semua itu akan tetap tinggal sebagai kemungkinan yang entah kapan menjadi kenyataan.

Kukirimkan sepotong senja ini untukmu Alina, dalam amplop yang tertutup rapat, dari jauh, karena aku ingin memberikan sesuatu yang lebih dari sekedar kata-kata.

Sudah terlalu banyak kata di dunia ini Alina, dan kata-kata, ternyata, tidak mengubah apa-apa. Aku tidak akan menambah kata-kata yang sudah tak terhitung jumlahnya dalam sejarah kebudayaan manusia Alina.

Untuk apa? Kata-kata tidak ada gunanya dan selalu sia-sia. Lagi pula siapakah yang masih sudi mendengarnya? Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa peduli apakah ada orang lain yang mendengarnya. Bahkan mereka juga tidak peduli dengan kata-katanya sendiri. Sebuah dunia yang sudah kelebihan kata-kata tanpa makna. Kata-kata sudah luber dan tidak dibutuhkan lagi. Setiap kata bisa diganti artinya. Setiap arti bisa diubah maknanya. Itulah dunia kita Alina.

Kukirimkan sepotong senja untukmu Alina, bukan kata-kata cinta. Kukirimkan padamu sepotong senja yang lembut dengan langit kemerah-merahan yang nyata dan betul-betul ada dalam keadaan yang sama seperti ketika aku mengambilnya saat matahari hampir tenggelam ke balik cakrawala.

Alina yang manis, Alina yang sendu, Akan kuceritakan padamu bagaimana aku mendapatkan senja itu untukmu.

Sore itu aku duduk seorang diri di tepi pantai, memandang dunia yang terdiri dari waktu. Memandang bagaimana ruang dan waktu bersekutu, menjelmakan alam itu untuk mataku. Di tepi pantai, di tepi bumi, semesta adalah sapuan warna keemasan dan lautan adalah cairan logam meski buih pada debur ombak yang menghempas itu tetap saja putih seperti kapas dan langit tetap saja ungu dan angin tetap saja lembab dan basah, dan pasir tetap saja hangat ketika kuusapkan kakiku ke dalamnya.

Kemudian tiba-tiba senja dan cahaya gemetar. Keindahan berkutat melawan waktu dan aku tiba-tiba teringat padamu.
“Barangkali senja ini bagus untukmu,” pikirku. Maka kupotong senja itu sebelum terlambat, kukerat pada empat sisi lantas kumasukkan ke dalam saku. Dengan begitu keindahan itu bisa abadi dan aku bisa memberikannya padamu.

Setelah itu aku berjalan pulang dengan perasaan senang. Aku tahu kamu akan menyukainya karena kamu tahu itulah senja yang selalu kamu bayangkan untuk kita. Aku tahu kamu selalu membayangkan hari libur yang panjang, perjalanan yang jauh, dan barangkali sepasang kursi malas pada sepotong senja di sebuah pantai di mana kita akan bercakap-cakap sembari memandang langit sambil berangan-angan sambil bertanya-tanya apakah semua ini memang benar-benar telah terjadi. Kini senja itu bisa kamu bawa ke mana-mana.

Ketika aku meninggalkan pantai itu, kulihat orang-orang datang berbondong-bondong, ternyata mereka menjadi gempar karena senja telah hilang. Kulihat cakrawala itu berlubang sebesar kartu pos.

Alina sayang,
Semua itu telah terjadi dan kejadiannya akan tetap seperti itu. Aku telah sampai ke mobil ketika di antara kerumunan itu kulihat seseorang menunjuk-nunjuk ke arahku.
“Dia yang mengambil senja itu! Saya lihat dia mengambil senja itu!”
Kulihat orang-orang itu melangkah ke arahku. Melihat gelagat itu aku segera masuk mobil dan tancap gas.
“Catat nomernya! Catat nomernya!”

Aku melejit ke jalan raya. Kukebut mobilku tanpa perasaan panik. Aku sudah berniat memberikan senja itu untukmu dan hanya untukmu saja Alina. Tak seorang pun boleh mengambilnya dariku. Cahaya senja yang keemasan itu berbinar-binar di dalam saku. Aku merasa cemas karena meskipun kaca mobilku gelap tapi cahaya senja tentu cukup terang dilihat dari luar. Dan ternyata cahaya senja itu memang menembus segenap cahaya dalam mobilku,sehingga mobilku itu meluncur dengan nyala cemerlang ke aspal maupun ke angkasa.

Dari radio yang kusetel aku tahu, berita tentang hilangnya senja telah tersebar ke mana-mana. Dari televisi dalam mobil bahkan kulihat potretku sudah terpampang. Aduh. Baru hilang satu senja saja sudah paniknya seperti itu. Apa tidak bisa menunggu sampai besok? Bagaimana kalau setiap orang mengambil senja untuk pacarnya masing-masing? Barangkali memang sudah waktunya dibuat senja tiruan yang bisa dijual di toko-toko,dikemas dalam kantong plastik dan dijual di kaki lima. Sudah waktunya senja diproduksi besar-besaran supaya bisa dijual anak-anak pedagang asongan di perempatan jalan.

“Senja! Senja! Cuma seribu tiga!”

Di jalan tol mobilku melaju masuk kota.Aku harus hati-hati karena semua orang mencariku. Sirene mobil polisi meraung-raung di mana-mana. Cahaya kota yang tetap gemilang tanpa senja membuat cahaya keemasan dari dalam mobilku tidak terlalu kentara. Lagi pula di kota, tidak semua orang peduli apakah senja hilang atau tidak. Di kota kehidupan berjalan tanpa waktu, tidak peduli pagi siang sore atau malam. Jadi tidak pernah penting senja itu ada atau hilang. Senja cuma penting untuk turis yang suka memotret matahari terbenam. Boleh jadi hanya demi alasan itulah senja yang kubawa ini dicari-cari polisi.

Sirene polisi mendekat dari belakang. Dengan pengeras suara polisi itu memberi peringatan.


“Pengemudi mobil Porsche abu-abu metalik nomor SG 19658 A, harap berhenti. Ini Polisi. Anda ditahan karena dituduh telah membawa senja. Meskipun tak ada aturan yang melarangnya, tapi berdasarkan…”

Aku tidak sudi mendengarnya lebih lama lagi. Jadi kubilas dia sampai terpental keluar pagar tepi jalan. Kutancap gas dan menyelip-nyelip dengan lincah di jalanan. Dalam waktu singkat kota sudah penuh raungan sirene polisi. Terjadi kejar-kejaran yang seru.Tapi aku lebih tahu seluk-beluk kota, jalanan dengan cahaya yang bernmain warna, gang-gang gelap yang tak pernah tercatat dalam buku alamat, lorong-lorong rahasia yang hanya diperuntukkan bagi orang-orang di bawah tanah.

Satu mobil terlempar di jalan layang, satu mobil lain tersesat di sebuah kampung, dan satu mobil lagi terguling-guling menabrak truk dan meledak lantas terbakar.Masih ada dua polisi bersepeda motor mengejarku. Ini soal kecil. Mereka tak pernah bisa mendahuluiku, dan setelah kejar-kejaran beberapa lama, mereka kehabisan bensin dan pengendaranya cuma bisa memaki-maki. Kulihat senja dalam saku bajuku. Masih utuh. Angin berdesir. Langit semburat ungu. Debur ombak menghempas ke pantai. Hanya padamulah senja ini kuserahkan Alina.

Tapi Alina, polisi ternyata tidak sekonyol yang kusangka. Di segenap sudut kotak mereka telah siap siaga. Bahkan aku tak bisa membeli makanan untuk mengisi perutku. Bahkan di langit tanpa senja, helikopter mereka menyorotkan lampu di setiap celah gedung bertingkat. Aku tersudut dan akhirnya nyaris tertangkap. Kalau saja tidak ada gorong-gorong yang terbuka.

Mobilku sudah kutinggal ketika memasuki daerah kumuh itu. Aku berlari di antara gudang, rumah tua, tiang serta temali. Terjatuh di atas sampah, merayapi tangga-tangga reyot, sampai seorang gelandangan menuntunku ke suatu tempat yang tak akan pernah kulupakan dalam hidupku.

“Masuklah,” katanya tenang, “disitu kamu aman.

Ia menunjuk gorong-gorong yang terbuka itu. Ada tikus keluar dari sana. Bauya bacin dan pesing. Kutengok ke bawah. Kulihat kelelawar bergantungan. Aku ragu-ragu.Namun deru helikopter dengan lampu sorotnya yang mencari-cari itu melenyapkan keraguanku.

“Masuklah, kamu tidak punya pilihan lain.”
Dan gelandangan itu mendorongku. Aku terjerembab jatuh. Bau busuknya bukan main. Gorong-gorong itu segera tertutup dan kudengar gelandangan itu merebahkan diri di atasnya. Lampu sorot helikopter menembus celah gorong-gorong tapi tak cukup untuk melihatku. Kurabah senja dalam kantongku, cahayanya yang merah keemas-emasan membuat aku bisa melihat dalam kegelapan. Aku melangkah dalam gorong-gorong yang rupanya cukup tinggi juga. Kusibukkan kelelawar bergantungan yang entah mati entah hidup itu. Kulihat cahaya putih di ujung gorong-gorong. Air busuk mengalir setinggi lutut, namun makin ke dalam makin surut. Di tempat yang kering kulihat anak-anak gelandangan duduk-duduk maupun tidur-tiduran, mereka berserakan memeluk rebana dengan mata yang tidak memancarkan kebahagian.

Aku berjalan terus melangkahi mereka dan coba bertahan. Betapa pun ini lebih baik daripada harus menyerahkan senja Alina.

Di ujung gorong-gorong,di tempat cahaya putih itu, ada tangga menurun ke bawah. Kuikuti tangga itu. Cahaya semakin terang dan semakin benderang. Astaga. Kamu boleh tidak percaya Alina, tapi kamu akan terus membacanya. Tangga itu menuju ke mulut sebuah gua, dan tahukah kamu ketika aku keluar dari gua itu aku ada di mana? Di tempat persis sama dengan tempat di mana aku mengambil senja itu untukmu Alina. Sebuah pantai dengan senja yang bagus: ombak, angin, dan kepak burung? tak lupa cahaya keemasan dan bias ungu pada mega-mega yang berarak bagaikan aliran mimpi. Cuma saja tidak ada lubang sebesar kartu pos. Jadi, meskipun persis sama, tapi bukan tempat yang sama.

Aku berjalan ke tepi pantai. Tenggelam dalam guyuran alam yang perawan. Nyiur tentu saja, matahari, dan dasat lautan yang bening dengan lidah ombak yang berdesis-desis. Tak ada cottage, tak ada barbeque, tak ada marina.

“Semua itu memang tidak perlu. Senja yang bergetar melawan takdir membiaskan cahaya keemasan ke tepi semesta. Aku sering malu sendiri melihat semua itu. Alina, apakah semua itu mungkin diterjemahkan dalam bahasa?”

Sambil duduk di tepi pantai aku berpikir-pikir, untuk apakah semua ini kalau tidak ada yang menyaksikannya? Setelah berjalan ke sana ke mari aku tahu kalau dunia dalam gorong-gorong ini kosong melompong. Tak ada manusia, tak ada tikus, apalagi dinosaurus. Hanya burung yang terkepak, tapi ia sepertinya bukan burung yang bertelur dan membuat sarang. Ia hanya burung yang dihadirkan sebagai ilustrasi senja. Ia hanya burung berkepak dan berkepak terus disana. Aku tak habis pikir Alina, alam seperti ini dibuat untu apa? Untuk apa senja yang bisa membuat seseorang ingin jatuh cinta itu jika tak ada seekor dinosaurus pun menikmatinya? Sementara di atas sana orang-orang ribut kehilangan senja….

Jadi, begitulah Alina, kuambil juga senja itu. Kukerat dengan pisau Swiss yang selalu kubawa, pada empat sisinya, sehingga pada cakrawala itu terbentuk lubang sebesar kartu pos. Dengan dua senja di saku kiri dan kanan aku melangkah pulang. Bumi berhenti beredar di belakangku, menjadi kegelapan yang basah dan bacin. Aku mendaki tangga kembali menuju gorong-gorong bumiku yang terkasih.

Sampai di atas, setelah melewati kalelawar bergantungan, anak-anak gelandangan berkaparan, dan air setinggi lutut, kulihat polisi-polisi helikopter sudah pergi. Gelandangan yang menolongku sedang tiduran di bawah tiang listrik sambil meniup saksofon.

Aku berjalan mencari mobilku. Masih terparkir dengan baik di supermarket. Nampaknya bahkan baru saja dicuci. Sambil mengunyah pizza segera kukebut mobilku menuju pantai. Dengan dua senja di saku kiri dan kanan, lengkap dengan matahari, laut, pantai, dan cahaya keemasannya masing-masing, mobilku bagai memancarkan cahaya Ilhai. Sepanjang jalan layang, sepanjang jalan tol, kutancap gas dengan kecepatan penuh…

Alina kekasihku, pacarku, wanitaku.
Kamu pasti sudah tahu apa yang terjadi kemudian. Kupasang senja yang dari gorong-gorong pada lubang sebesar kartu pos itu dan ternyata pas. Lantas kukirimkan senja yang asli ini untukmu, lewat pos.

Aku ingin mendapatkan apa yang kulihat pertama kali: senja dalam arti yang sebenarnya? bukan semacam senja yang ada di gorong-gorong itu.

Kini gorong-gorong itu betul-betul menjadi gelap Alina. Pada masa yang akan datang orang-orang tua akan bercerita pada cucunya tentang kenapa gorong-gorong menjadi gelap. Mereka akan berkisah bahwa sebenarnya ada alam lain di bawah gorong-gorong dengan matahari dan rembulannya sendiri, namun semua itu tidak lagi karena seorang telah mengambil senja untuk menggantikan senja lain di atas bumi. Orang-orang tua itu juga akan bercerita bahwa senja yang asli telah dipotong dan diberikan oleh seseorang kepada pacarnya.

Alina yang manis, paling manis, dan akan selalu manis, Terimalah sepotong senja itu, hanya untukmu, dari seseorang yang ingin membahagiakanmu. Awas hati-hati dengan lautan dan matahari itu, salah-salah cahayanya membakar langit dan kalau tumpah airnya bisa membanjiri permukaan bumi.

Dengan ini kukirimkan pula kerinduanku padamu, dengan cium, peluk, dan bisikan terhangat, dari sebuah tempat yang paling sunyi di dunia.

–Cerpen Pililihan Kompas 1993