Pendahuluan
Seno Gumira Ajidarma (SGA)
adalah seorang wartawan yang sering menulis cerita pendek, puisi, dan esai. Ia
terkenal dengan “tulisan terselubungnya” yang sebenarnya memberikan sindiran
pada keadaan politik dan sosial. Melalui bahasa-bahasa kias, ia mengungkapkan
kebenaran yang tersembunyi tentang fenomena sosial.
Pengguanaan bahasa kias
sangat dominan pada cerpen “Sepotong Senja untuk Pacarku” (SSUP), yang
merupakan cerpen pilihan Kompas pada tahun 1993. Bahasa kias merupakan bahasa
pembandingan. Istilah bahasa kias atau kiasan ini merupakan terjemahan dari figure of speech. Menurut Kridalaksana
(1994:85), bahasa kiasan disebut figure
of rhetoric atau rhetoric figure yaitu
alat untuk memperluas makna kata atau kelompok kata untuk memperoleh efek
tertentu dengan membandingkan kata atau mengasosiasikan dua hal.
Penggunaan gaya bahasa
kias seperti diksi senja menjadi hal
yang terus menerus diceritakan pada cerpen SSUP. SGA menggambarkan seseorang
yang ia sebut sebagai “si aku” karena sudut pandang penceritaan menggunakan
sudut pandang orang pertama serba tahu, yang berusaha dengan sangat keras untuk
memberikan sepotong senja untuk pacarnya walau harus dikejar-kejar oleh polisi
dan dianggap bersalah.
Si aku menganggap bahwa
dunia sudah terlalu penuh dengan kata-kata tak bermakna di dunia maka ia ingin
meberikan sesuatu yang nyata untu Alina pacarnya, yakni berupa sesuatu yang
nyata berwujud sepotong senja.
Penggambaran Alina
sebagai nama kekasih si aku, dirasa hanya sebagai kiasan, yakni perlambang.
Makna kekasih yang sebenarnya san gat luas, bisa jadi kekasih merupakan sesuatu
yang dikasihi seperti negara atau bangsa. Si aku rela dikejar-kejar polisi dan
dianggap bersalah demi mengungkapkan sesuatu yang nyata melalui perlambang
senja.
Sedangkan senja bisa
jadi merupakan sebuah perlambang dari sebuah harapan, yakni kebenaran yang
hakiki di tengah suasana yang tidak memihak pada kebenaran. Penggambaran senja
yang muncul ketika hari hamir berakhir merupakan harapan yang hampir saja usai
tapi bukan berarti harapan itu hilang.
Ironi kehidupan sosial
merupakan hal yang sering diangkat dalam novel karya Seno Gumira Ajidarma. Pada
artikel ini, kajian gaya bahasa kiasan tidak difokuskan pada penggunaan jenis
gaya bahasa tertentu tetapi lebih difokuskan pada banyaknya gaya bahasa kiasan
yang digunakan dalam keseluruhan cerita. Dengan demikian penggunaan gaya bahasa
tertentu yang tidak menimbulkan efek penceritaan tidak akan dibahas.
Gaya
Bahasa Perbandingan pada Cerpen “Sepotong Senja untuk Pacarku”
Sejak awal cerita Sepotong
Senja untuk Pacarku (SSUP) gaya bahasa kiasan banyak digunakan. Gaya bahasa
kiasan digunakan untuk mendeskripsikan sepotong senja yang dicuri oleh si aku
untuk pacarnya. Bahkan pencurian sepotong senja dijadikan sebagai sumber
penceritaan dalam cerpen tersebut. Gaya bahasa itu digunakan untuk mendeskripsi
senja yang dijadikan perlambang oleh tokoh aku. Bagi si aku, sudah terlalu
banyak kata-kata tak bermakna di dunia yang ternyata, tidak mengubah apa-apa.
Si aku tidak ingin menambah kata-kata yang sudah tak terhitung jumlahnya, si aku
ingin memberikan sesuatu yang nyata kepada pacarnya. Gambaran senja sebagai
perlambang bukti rasa cinta si aku terdapat pada kutipan-kutipan berikut ini
Bersama surat
ini kukirimkan padamu sepotong senja–dengan angin, debur ombak, matahari
terbenam, dan cahaya keemasan.
…..
Kukirimkan sepotong senja untukmu
Alina, bukan kata-kata cinta. Kukirimkan padamu sepotong senja yang lembut
dengan langit kemerah-merahan yang nyata dan betul-betul ada dalam keadaan yang
sama seperti ketika aku mengambilnya saat matahari hampir tenggelam ke balik
cakrawala.
……
Kemudian tiba-tiba senja dan cahaya
gemetar. Keindahan berkutat melawan waktu dan aku tiba-tiba teringat padamu.
“Barangkali senja ini bagus untukmu,”
pikirku. Maka kupotong senja itu sebelum terlambat, kukerat pada empat sisi
lantas kumasukkan ke dalam saku. Dengan begitu keindahan itu bisa abadi dan aku
bisa memberikannya padamu.
Kutipan cerpen tersebut
termasuk dalam majas alegori, yaitu gaya bahasa untuk mengungkapkan suatu hal
melalui kiasan. Sepanjang cerita, Seno Gumira Ajidarma (SGA) menggunakan diksi
senja untuk menggambarkan sesuatu yang indah yang akan ia berikan untuk orang
yang paling ia cintai, yakni kekasihnya. Efek penggunaan gaya bahasa alegori
pada kutipan tersebut adalah estetis. Hal tersebut terlihat dengan jelas pada
kalimat: Kukirimkan sepotong senja untukmu
Alina, bukan kata-kata cinta terdapat perulangan bunyi vokal akhir a pada kata terakhir klausa yaitu Alina dan cinta.
SGA menggambarkan senja
seolah harapan yang nyata. Hal itu terlihat pada kutipan: Kukirimkan padamu sepotong senja yang lembut dengan langit
kemerah-merahan yang nyata dan betul-betul ada dalam keadaan yang sama seperti
ketika aku mengambilnya saat matahari hampir tenggelam ke balik cakrawala. Ketika
matahari hampir tenggelam, di sanalah ada senja, yakni sesuatu yang masih bertahan
sebelum hari menjadi gelap dan hampir semua orang menamatkan harinya. Senja
masih ada dan bertahan, itulah yang disebut harapan.
“Semua itu
memang tidak perlu. Senja yang bergetar melawan takdir membiaskan cahaya
keemasan ke tepi semesta. Aku sering malu sendiri melihat semua itu. Alina,
apakah semua itu mungkin diterjemahkan dalam bahasa?”
Pada kutipan di atas,
makin jelas terlihat bahwa SGA menggunakan majas alegori dalam menggambarkan
senja sebagai sepotong asa yang berani melawan takdir. Menanti senja adalah
suatu keberanian, bahwa masih ada harapan sebelum hari usai dan malam
menjelang.
Pada cerpen SSUP, juga
terdapat gaya bahasa personifikasi untuk menggambarkan ruang dan waktu yang
dinikmati oleh si aku. Gaya bahasa personifikasi adalah gaya bahasa kiasan yang
menggambarkan benda-benda mati seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan
(Pradopo, 1993:75). Gaya personifikasi sebenarnya merupakan corak khusus dari metafora
yang mengiaskan benda-benda mati yang diandaikan hidup sehingga mampu bertindak
atau berbuat seperti manusia (Supriyanto, 2011:69). Hal tersebut terlihat pada
kutipan berikut ini.
Sore itu aku
duduk seorang diri di tepi pantai, memandang dunia yang terdiri dari waktu.
Memandang bagaimana ruang dan waktu bersekutu, menjelmakan alam itu untuk
mataku. Di tepi pantai, di tepi bumi, semesta adalah sapuan warna keemasan dan
lautan adalah cairan logam meski buih pada debur ombak yang menghempas itu
tetap saja putih seperti kapas dan langit tetap saja ungu dan angin tetap saja
lembab dan basah, dan pasir tetap saja hangat ketika kuusapkan kakiku ke
dalamnya.
Kutipan Memandang bagaimana ruang dan waktu
bersekutu, menjelmakan alam itu untuk mataku menunjukkan bahwa SGA
mengumpamakan ruang dan waktu yang bersekutu bagaikan tindakan yang dilakukan
oleh manusia. Selain personifikasi, SGA juga menggunakan gaya bahasa simile
pada kutipan Di tepi pantai, di tepi
bumi, semesta adalah sapuan warna keemasan dan lautan adalah cairan logam meski
buih pada debur ombak yang menghempas itu tetap saja putih seperti kapas dan
langit tetap saja ungu dan angin tetap saja lembab dan basah, dan pasir tetap
saja hangat ketika kuusapkan kakiku ke dalamnya. Jelas sekali, SGA
mengumpamakan semesta seperti sapuan warna keemasan dan laut yang seperti
cairan logam.
Di ujung
gorong-gorong, di tempat cahaya putih itu, ada tangga menurun ke bawah. Kuikuti
tangga itu. Cahaya semakin terang dan semakin benderang. Astaga. Kamu boleh
tidak percaya Alina, tapi kamu akan terus membacanya. Tangga itu menuju ke
mulut sebuah gua, dan tahukah kamu ketika aku keluar dari gua itu aku ada di
mana? Di tempat persis sama dengan tempat di mana aku mengambil senja itu
untukmu Alina. Sebuah pantai dengan senja yang bagus: ombak, angin, dan kepak
burung? tak lupa cahaya keemasan dan bias ungu pada mega-mega yang berarak
bagaikan aliran mimpi. Cuma saja tidak ada lubang sebesar kartu pos. Jadi,
meskipun persis sama, tapi bukan tempat yang sama.
Aku berjalan ke
tepi pantai. Tenggelam dalam guyuran alam yang perawan. Nyiur tentu saja,
matahari, dan dasat lautan yang bening dengan lidah ombak yang berdesis-desis.
Tak ada cottage, tak ada barbeque, tak ada marina.
“Semua itu
memang tidak perlu. Senja yang bergetar melawan takdir membiaskan cahaya
keemasan ke tepi semesta. Aku sering malu sendiri melihat semua itu. Alina,
apakah semua itu mungkin diterjemahkan dalam bahasa?”
Gaya bahasa metafora,
yakni gaya bahasa yang membandingkan dua hal yang berbeda juga terdapat pada
cerpen SSUP. Gaya bahasa metafora terdapat pada kutipan Tangga itu menuju ke mulut sebuah gua, dalam guyuran alam yang perawan,
lidah ombak yang berdesis-desis merupakan gaya bahasa yang menimbulkan
kesan estetis dan mampu menimbulkan imajinasi tentang setting pada SSUP.
Gaya
Bahasa Penegasan pada Cerpen “Sepotong Senja untuk Pacarku”
Selain menggunakan gaya
bahasa yang menyatakan perbandingan, SGA juga menggunakan majas elipsis dan
majas metonimia untuk memunculkan kesan estetis. Hal tersebut terlihat pada
kutipan di bawah ini.
Sirene polisi
mendekat dari belakang. Dengan pengeras suara polisi itu memberi peringatan.
“Pengemudi mobil
Porsche abu-abu metalik nomor SG
19658 A, harap berhenti. Ini Polisi. Anda ditahan karena dituduh telah membawa
senja. Meskipun tak ada aturan yang melarangnya, tapi berdasarkan…”
Aku tidak sudi
mendengarnya lebih lama lagi. Jadi kubilas dia sampai terpental keluar pagar
tepi jalan. Kutancap gas dan menyelip-nyelip dengan lincah di jalanan.
…..
SGA menggunakan diksi Porsche yang termasuk dalam majas metonimia
yang merupakan gaya bahasa yang menggunakan nama merek atau atribut untuk
menyebut suatu benda. Penggunaan diksi Porsche
dinilai lebih estetis daripada hanya menggunakan kata mobil. Selain itu, SGA
juga menggunakan majas elipsis dalam gaya penceritaannya. Majas ellipsis
merupakan gaya bahasa yang menghilangkan beberapa unsur kalimat, unsur-unsur
yang hilang tersebut mudah ditafsirkan oleh pembaca. Pada kutipan di atas, SGA
menuliskan kalimat yang tidak selesai, hal itu ditunjukkan pada kalimat “Meskipun tak ada aturan yang melarangnya,
tapi berdasarkan…” memang sengaja tidak dilanjutkan, hal itu karena si aku
memang tidak ingin mendengar kelanjutannya lagi, si aku sudah bisa memprediksi
apa yang akan dikatakan oleh polisi.
Gaya bahasa repetisi
juga terdapat dalam cerpen SSUP, yakni pengulangan kata, frasa, atau kalimat
yang bertujuan untuk menimbulkan penekanan.
Aku sudah
berniat memberikan senja itu untukmu dan hanya untukmu saja Alina.
Dari radio yang
kusetel aku tahu, berita tentang hilangnya senja telah tersebar ke mana-mana.
Dari televisi dalam mobil bahkan kulihat potretku sudah terpampang.
Pada kalimat Aku
sudah berniat memberikan senja itu untukmu dan hanya untukmu saja Alina terdapat
pengulangan untukmu yang berfungsi
untuk memberikan penekanan bahwa usaha si aku untuk mengambil senja hanya untuk
diberikan pada Alina. Gaya bahasa repetisi juga terdapat pada kutipan Dari radio yang kusetel aku tahu, berita
tentang hilangnya senja telah tersebar ke mana-mana. Dari televisi dalam mobil
bahkan kulihat potretku sudah terpampang, terdapat pengulangan kata dari yang berfungsi memberi penekanan
bahwa berita tentang hilangnya senja memang sudah tersiar dan sangat
menghebohkan.
Gaya bahasa selanjutnya
yakni retoris yang merupakan gaya bahasa yang mengandung pertanyaan tetapi jawabannya
sudah terkandung dalam pertanyaan itu. Seperti pada kutipan berikut.
Aduh. Baru
hilang satu senja saja sudah paniknya seperti itu. Apa tidak bisa menunggu sampai
besok? Bagaimana kalau setiap orang mengambil senja untuk pacarnya
masing-masing?
SGA menggunakan gaya
bahasa retoris, justru untuk memberikan penegasan bahwa hilangnya sepotong
senja saja sudah membuat heboh, padahal senja diibaratkan sebagai sebuah
kebenaran yang terungkap namun tak banyak yang memihak pada terungkapnya
kebenaran itu. Pertanyaan Apa tidak bisa
menunggu sampai besok? Bagaimana kalau setiap orang mengambil senja untuk
pacarnya masing-masing? Memang tidak perlu dijawab karena pembaca tentu
sudah tahu sendiri jawabannya.
Penutup
Gaya bahasa kias yang
terdapat dalam cerpen “Sepotong Senja untuk Pacarku” terdiri atas gaya bahasa
yang menyatakan perbandingan dan penegasan. Gaya bahasa yang menyatakan
perbandingan terdiri atas gaya bahasa personifikasi, alegori, simile, dan
metafora. Gaya bahasa yang menyatakan penegasan terdiri atas gaya bahasa
metonimia, ellipsis, retoris, dan repetisi. Gaya bahasa itu berfungsi untuk
memberikan kesan figuratif yang mempu menimbulkan bahasa yang estetis.
Daftar
Pustaka
Kridalaksana, Harimurti. 1984. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta:
Gramedia.
Pradopo, Rahmat Djoko. 1993. Pengkajian Puisi. Cetakan Ketiga.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Supriyanto, Teguh. 2011. Kajian Stilistika dalam Prosa. Yogyakarta:
Elmatera Publishing.
Lampiran
Sepotong Senja
untuk Pacarku
Seno Gumira Ajidarma
Alina tercinta,
Bersama surat
ini kukirimkan padamu sepotong senja–dengan angin, debur ombak, matahari
terbenam, dan cahaya keemasan. Apakah kamu menerimanya dalam keadaan lengkap?
Seperti setiap
senja di setiap pantai, tentu ada juga burung-burung, pasir yang basah, siluet
batu karang, dan barangkali juga perahu lewat di jauhan. Maaf, aku tidak sempat
menelitinya satu persatu. Mestinya ada juga lokan, batu yang berwarna-warni,
dan bias cahaya cemerlang yang berkeretap pada buih yang bagaikan impian selalu
saja membuat aku mengangankan segala hal yang paling mungkin kulakukan
bersamamu meski aku tahu semua itu akan tetap tinggal sebagai kemungkinan yang
entah kapan menjadi kenyataan.
Kukirimkan
sepotong senja ini untukmu Alina, dalam amplop yang tertutup rapat, dari jauh,
karena aku ingin memberikan sesuatu yang lebih dari sekedar kata-kata.
Sudah terlalu
banyak kata di dunia ini Alina, dan kata-kata, ternyata, tidak mengubah
apa-apa. Aku tidak akan menambah kata-kata yang sudah tak terhitung jumlahnya
dalam sejarah kebudayaan manusia Alina.
Untuk apa?
Kata-kata tidak ada gunanya dan selalu sia-sia. Lagi pula siapakah yang masih
sudi mendengarnya? Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa peduli
apakah ada orang lain yang mendengarnya. Bahkan mereka juga tidak peduli dengan
kata-katanya sendiri. Sebuah dunia yang sudah kelebihan kata-kata tanpa makna.
Kata-kata sudah luber dan tidak dibutuhkan lagi. Setiap kata bisa diganti
artinya. Setiap arti bisa diubah maknanya. Itulah dunia kita Alina.
Kukirimkan
sepotong senja untukmu Alina, bukan kata-kata cinta. Kukirimkan padamu sepotong
senja yang lembut dengan langit kemerah-merahan yang nyata dan betul-betul ada
dalam keadaan yang sama seperti ketika aku mengambilnya saat matahari hampir
tenggelam ke balik cakrawala.
Alina yang
manis, Alina yang sendu, Akan kuceritakan padamu bagaimana aku mendapatkan
senja itu untukmu.
Sore itu aku
duduk seorang diri di tepi pantai, memandang dunia yang terdiri dari waktu.
Memandang bagaimana ruang dan waktu bersekutu, menjelmakan alam itu untuk
mataku. Di tepi pantai, di tepi bumi, semesta adalah sapuan warna keemasan dan
lautan adalah cairan logam meski buih pada debur ombak yang menghempas itu
tetap saja putih seperti kapas dan langit tetap saja ungu dan angin tetap saja
lembab dan basah, dan pasir tetap saja hangat ketika kuusapkan kakiku ke
dalamnya.
Kemudian
tiba-tiba senja dan cahaya gemetar. Keindahan berkutat melawan waktu dan aku
tiba-tiba teringat padamu.
“Barangkali
senja ini bagus untukmu,” pikirku. Maka kupotong senja itu sebelum terlambat,
kukerat pada empat sisi lantas kumasukkan ke dalam saku. Dengan begitu
keindahan itu bisa abadi dan aku bisa memberikannya padamu.
Setelah itu aku
berjalan pulang dengan perasaan senang. Aku tahu kamu akan menyukainya karena
kamu tahu itulah senja yang selalu kamu bayangkan untuk kita. Aku tahu kamu
selalu membayangkan hari libur yang panjang, perjalanan yang jauh, dan
barangkali sepasang kursi malas pada sepotong senja di sebuah pantai di mana
kita akan bercakap-cakap sembari memandang langit sambil berangan-angan sambil
bertanya-tanya apakah semua ini memang benar-benar telah terjadi. Kini senja
itu bisa kamu bawa ke mana-mana.
Ketika aku
meninggalkan pantai itu, kulihat orang-orang datang berbondong-bondong,
ternyata mereka menjadi gempar karena senja telah hilang. Kulihat cakrawala itu
berlubang sebesar kartu pos.
Alina sayang,
Semua itu telah
terjadi dan kejadiannya akan tetap seperti itu. Aku telah sampai ke mobil
ketika di antara kerumunan itu kulihat seseorang menunjuk-nunjuk ke arahku.
“Dia yang
mengambil senja itu! Saya lihat dia mengambil senja itu!”
Kulihat
orang-orang itu melangkah ke arahku. Melihat gelagat itu aku segera masuk mobil
dan tancap gas.
“Catat nomernya!
Catat nomernya!”
Aku melejit ke
jalan raya. Kukebut mobilku tanpa perasaan panik. Aku sudah berniat memberikan
senja itu untukmu dan hanya untukmu saja Alina. Tak seorang pun boleh
mengambilnya dariku. Cahaya senja yang keemasan itu berbinar-binar di dalam
saku. Aku merasa cemas karena meskipun kaca mobilku gelap tapi cahaya senja
tentu cukup terang dilihat dari luar. Dan ternyata cahaya senja itu memang
menembus segenap cahaya dalam mobilku,sehingga mobilku itu meluncur dengan
nyala cemerlang ke aspal maupun ke angkasa.
Dari radio yang
kusetel aku tahu, berita tentang hilangnya senja telah tersebar ke mana-mana.
Dari televisi dalam mobil bahkan kulihat potretku sudah terpampang. Aduh. Baru
hilang satu senja saja sudah paniknya seperti itu. Apa tidak bisa menunggu
sampai besok? Bagaimana kalau setiap orang mengambil senja untuk pacarnya
masing-masing? Barangkali memang sudah waktunya dibuat senja tiruan yang bisa
dijual di toko-toko,dikemas dalam kantong plastik dan dijual di kaki lima.
Sudah waktunya senja diproduksi besar-besaran supaya bisa dijual anak-anak
pedagang asongan di perempatan jalan.
“Senja! Senja!
Cuma seribu tiga!”
Di jalan tol
mobilku melaju masuk kota.Aku harus hati-hati karena semua orang mencariku.
Sirene mobil polisi meraung-raung di mana-mana. Cahaya kota yang tetap gemilang
tanpa senja membuat cahaya keemasan dari dalam mobilku tidak terlalu kentara.
Lagi pula di kota, tidak semua orang peduli apakah senja hilang atau tidak. Di
kota kehidupan berjalan tanpa waktu, tidak peduli pagi siang sore atau malam.
Jadi tidak pernah penting senja itu ada atau hilang. Senja cuma penting untuk
turis yang suka memotret matahari terbenam. Boleh jadi hanya demi alasan itulah
senja yang kubawa ini dicari-cari polisi.
Sirene polisi
mendekat dari belakang. Dengan pengeras suara polisi itu memberi peringatan.
“Pengemudi mobil
Porsche abu-abu metalik nomor SG 19658 A, harap berhenti. Ini Polisi. Anda
ditahan karena dituduh telah membawa senja. Meskipun tak ada aturan yang
melarangnya, tapi berdasarkan…”
Aku tidak sudi
mendengarnya lebih lama lagi. Jadi kubilas dia sampai terpental keluar pagar
tepi jalan. Kutancap gas dan menyelip-nyelip dengan lincah di jalanan. Dalam
waktu singkat kota sudah penuh raungan sirene polisi. Terjadi kejar-kejaran
yang seru.Tapi aku lebih tahu seluk-beluk kota, jalanan dengan cahaya yang
bernmain warna, gang-gang gelap yang tak pernah tercatat dalam buku alamat,
lorong-lorong rahasia yang hanya diperuntukkan bagi orang-orang di bawah tanah.
Satu mobil
terlempar di jalan layang, satu mobil lain tersesat di sebuah kampung, dan satu
mobil lagi terguling-guling menabrak truk dan meledak lantas terbakar.Masih ada
dua polisi bersepeda motor mengejarku. Ini soal kecil. Mereka tak pernah bisa
mendahuluiku, dan setelah kejar-kejaran beberapa lama, mereka kehabisan bensin
dan pengendaranya cuma bisa memaki-maki. Kulihat senja dalam saku bajuku. Masih
utuh. Angin berdesir. Langit semburat ungu. Debur ombak menghempas ke pantai.
Hanya padamulah senja ini kuserahkan Alina.
Tapi Alina,
polisi ternyata tidak sekonyol yang kusangka. Di segenap sudut kotak mereka
telah siap siaga. Bahkan aku tak bisa membeli makanan untuk mengisi perutku.
Bahkan di langit tanpa senja, helikopter mereka menyorotkan lampu di setiap
celah gedung bertingkat. Aku tersudut dan akhirnya nyaris tertangkap. Kalau
saja tidak ada gorong-gorong yang terbuka.
Mobilku sudah
kutinggal ketika memasuki daerah kumuh itu. Aku berlari di antara gudang, rumah
tua, tiang serta temali. Terjatuh di atas sampah, merayapi tangga-tangga reyot,
sampai seorang gelandangan menuntunku ke suatu tempat yang tak akan pernah
kulupakan dalam hidupku.
“Masuklah,”
katanya tenang, “disitu kamu aman.
Ia menunjuk
gorong-gorong yang terbuka itu. Ada tikus keluar dari sana. Bauya bacin dan
pesing. Kutengok ke bawah. Kulihat kelelawar bergantungan. Aku ragu-ragu.Namun
deru helikopter dengan lampu sorotnya yang mencari-cari itu melenyapkan
keraguanku.
“Masuklah, kamu
tidak punya pilihan lain.”
Dan gelandangan
itu mendorongku. Aku terjerembab jatuh. Bau busuknya bukan main. Gorong-gorong
itu segera tertutup dan kudengar gelandangan itu merebahkan diri di atasnya.
Lampu sorot helikopter menembus celah gorong-gorong tapi tak cukup untuk
melihatku. Kurabah senja dalam kantongku, cahayanya yang merah keemas-emasan
membuat aku bisa melihat dalam kegelapan. Aku melangkah dalam gorong-gorong
yang rupanya cukup tinggi juga. Kusibukkan kelelawar bergantungan yang entah
mati entah hidup itu. Kulihat cahaya putih di ujung gorong-gorong. Air busuk
mengalir setinggi lutut, namun makin ke dalam makin surut. Di tempat yang
kering kulihat anak-anak gelandangan duduk-duduk maupun tidur-tiduran, mereka
berserakan memeluk rebana dengan mata yang tidak memancarkan kebahagian.
Aku berjalan
terus melangkahi mereka dan coba bertahan. Betapa pun ini lebih baik daripada
harus menyerahkan senja Alina.
Di ujung
gorong-gorong,di tempat cahaya putih itu, ada tangga menurun ke bawah. Kuikuti
tangga itu. Cahaya semakin terang dan semakin benderang. Astaga. Kamu boleh
tidak percaya Alina, tapi kamu akan terus membacanya. Tangga itu menuju ke
mulut sebuah gua, dan tahukah kamu ketika aku keluar dari gua itu aku ada di
mana? Di tempat persis sama dengan tempat di mana aku mengambil senja itu
untukmu Alina. Sebuah pantai dengan senja yang bagus: ombak, angin, dan kepak
burung? tak lupa cahaya keemasan dan bias ungu pada mega-mega yang berarak
bagaikan aliran mimpi. Cuma saja tidak ada lubang sebesar kartu pos. Jadi,
meskipun persis sama, tapi bukan tempat yang sama.
Aku berjalan ke
tepi pantai. Tenggelam dalam guyuran alam yang perawan. Nyiur tentu saja,
matahari, dan dasat lautan yang bening dengan lidah ombak yang berdesis-desis.
Tak ada cottage, tak ada barbeque, tak ada marina.
“Semua itu
memang tidak perlu. Senja yang bergetar melawan takdir membiaskan cahaya
keemasan ke tepi semesta. Aku sering malu sendiri melihat semua itu. Alina,
apakah semua itu mungkin diterjemahkan dalam bahasa?”
Sambil duduk di
tepi pantai aku berpikir-pikir, untuk apakah semua ini kalau tidak ada yang
menyaksikannya? Setelah berjalan ke sana ke mari aku tahu kalau dunia dalam
gorong-gorong ini kosong melompong. Tak ada manusia, tak ada tikus, apalagi
dinosaurus. Hanya burung yang terkepak, tapi ia sepertinya bukan burung yang
bertelur dan membuat sarang. Ia hanya burung yang dihadirkan sebagai ilustrasi
senja. Ia hanya burung berkepak dan berkepak terus disana. Aku tak habis pikir
Alina, alam seperti ini dibuat untu apa? Untuk apa senja yang bisa membuat
seseorang ingin jatuh cinta itu jika tak ada seekor dinosaurus pun
menikmatinya? Sementara di atas sana orang-orang ribut kehilangan senja….
Jadi, begitulah
Alina, kuambil juga senja itu. Kukerat dengan pisau Swiss yang selalu kubawa,
pada empat sisinya, sehingga pada cakrawala itu terbentuk lubang sebesar kartu
pos. Dengan dua senja di saku kiri dan kanan aku melangkah pulang. Bumi
berhenti beredar di belakangku, menjadi kegelapan yang basah dan bacin. Aku
mendaki tangga kembali menuju gorong-gorong bumiku yang terkasih.
Sampai di atas,
setelah melewati kalelawar bergantungan, anak-anak gelandangan berkaparan, dan
air setinggi lutut, kulihat polisi-polisi helikopter sudah pergi. Gelandangan
yang menolongku sedang tiduran di bawah tiang listrik sambil meniup saksofon.
Aku berjalan
mencari mobilku. Masih terparkir dengan baik di supermarket. Nampaknya bahkan
baru saja dicuci. Sambil mengunyah pizza segera kukebut mobilku menuju pantai.
Dengan dua senja di saku kiri dan kanan, lengkap dengan matahari, laut, pantai,
dan cahaya keemasannya masing-masing, mobilku bagai memancarkan cahaya Ilhai.
Sepanjang jalan layang, sepanjang jalan tol, kutancap gas dengan kecepatan
penuh…
Alina kekasihku,
pacarku, wanitaku.
Kamu pasti sudah
tahu apa yang terjadi kemudian. Kupasang senja yang dari gorong-gorong pada
lubang sebesar kartu pos itu dan ternyata pas. Lantas kukirimkan senja yang
asli ini untukmu, lewat pos.
Aku ingin
mendapatkan apa yang kulihat pertama kali: senja dalam arti yang sebenarnya?
bukan semacam senja yang ada di gorong-gorong itu.
Kini
gorong-gorong itu betul-betul menjadi gelap Alina. Pada masa yang akan datang
orang-orang tua akan bercerita pada cucunya tentang kenapa gorong-gorong
menjadi gelap. Mereka akan berkisah bahwa sebenarnya ada alam lain di bawah
gorong-gorong dengan matahari dan rembulannya sendiri, namun semua itu tidak
lagi karena seorang telah mengambil senja untuk menggantikan senja lain di atas
bumi. Orang-orang tua itu juga akan bercerita bahwa senja yang asli telah
dipotong dan diberikan oleh seseorang kepada pacarnya.
Alina yang
manis, paling manis, dan akan selalu manis, Terimalah sepotong senja itu, hanya
untukmu, dari seseorang yang ingin membahagiakanmu. Awas hati-hati dengan
lautan dan matahari itu, salah-salah cahayanya membakar langit dan kalau tumpah
airnya bisa membanjiri permukaan bumi.
Dengan ini
kukirimkan pula kerinduanku padamu, dengan cium, peluk, dan bisikan terhangat,
dari sebuah tempat yang paling sunyi di dunia.
–Cerpen
Pililihan Kompas 1993