Indonesia

Bangga Berbahasa Indonesia

Indonesia

Bangga Berbahasa Indonesia

Indonesia

Bangga Berbahasa Indonesia

Indonesia

Bangga Berbahasa Indonesia

Indonesia

Bangga Berbahasa Indonesia

Rabu, 05 Februari 2014

Apa Kabar Bahasa Indonesia di Kurikulum 2013?

Dalam suatu sistem pendidikan, kurikulum seharusnya bersifat dinamis serta harus selalu dilakukan perubahan dan pengembangan agar dapat mengikuti perkembangan zaman. Hasil survey “Trends in International Math and Science” tahun 2007 yang dilakukan oleh Global Institute, menunjukkan hanya lima persen peserta didik Indonesia yang mampu mengerjakan soal penalaran berkategori tinggi. Data lain diungkapkan oleh Program for International Student Assesment (PISA), hasil studinya tahun 2009 menempatkan Indonesia pada peringkat sepuluh besar terbawah dari 65 negara peserta PISA. Hasil kedua survey itu merujuk pada suatu simpulan bahwa prestasi peserta didik Indonesia tertinggal dan terbelakang. Oleh sebab itu, perlu dilakukan perubahan kurikulum, termasuk penataan beberapa mata pelajaran, salah satunya Bahasa Indonesia.
Pada Kurikulum 2013, mata pelajaran Bahasa Indonesia akan berbasis teks yang menjadi paradigma pengembangan fungsi bahasa. Bahasa Indonesia tidak hanya sebagai media komunikasi, tapi sebagai alat mengembangkan kemampuan berpikir. Hal itu ditampilkan dalam teks yang dibentuk oleh konteks, ragam bahasa, dan pesan yang mengandung unsur sosial dan budaya. Melalui mata pelajaran Bahasa Indonesia, siswa diharapkan mampu memproduksi dan menggunakan teks sesuai dengan tujuan dan fungsi sosialnya. Dalam pembelajaran bahasa berbasis teks, bahasa Indonesia diajarkan bukan sekadar sebagai pengetahuan bahasa, melainkan sebagai teks yang mengemban fungsi untuk menjadi sumber aktualisasi diri penggunanya pada konteks sosial-budaya akademis. Teks dimaknai sebagai satuan bahasa yang mengungkapkan makna secara kontekstual.
Pembelajaran berbasis teks pada mata pembelajaran Bahasa Indonesia merupakan implementasi dari pembelajaran tematik integratif. Tujuan pengintegrasian bukanlah untuk pendangkalan mata pelajaran, tapi justru lebih membermaknakan mata pelajaran agar lebih mudah dipahami dan bersifat kontekstual (Cambridge University, “Teaching Science through English”).
Istilah tematik-integratif dalam Kurikulum 2013 merupakan perwujudan penerapan CLIL.  Coyle (2006, 2007) mengajukan 4C sebagai penerapan CLIL, yaitu content, communication, cognition, culture (community/citizenship). University of Cambridge menerbitkan panduan kurikulum bahasa Inggris yang  bertajuk Teaching Science through English-- a CLIL Approach. Dalam panduan tersebut dijelaskan bahwa content itu berkaitan dengan topik apa (dalam hal ini adalah topik IPA seperti ekosistem). Communication  berkaitan dengan bahasa jenis apa yang digunakan (misalnya membandingkan, melaporkan). Pada bagian ini konsep genre teraplikasi, bagaimana suatu jenis teks tersusun (struktur teks) dan bentuk bahasa apa yang sering digunakan pada jenis teks tersebut. Cognition berkaitan dengan keterampilan berpikir apa yang dituntut berkenaan dengan topik (misalnya mengidentifikasi, mengklasifikasi). Culture berkaitan dengan muatan lokal lingkungan sekitar yang berkaitan dengan topik, misalnya kekhasan tumbuhan yang ada di wilayah tempat peserta didik belajar, termasuk juga persoalan karakter dan sikap berbahasa. CLIL sekarang ini juga dilihat sebagai cara untuk mencapai ‘mother tongue + 2’ multilingualism (Zarobe, 2009).
Oleh sebab itu, peran bahasa Indonesia amat strategis dalam Kurikulum 2013 sebab bahasa Indonesia dijadikan sebagai penghela dan pembawa ilmu pengetahuan. Pembelajaran bahasa Indonesia berbasis teks dilaksanakan dengan menerapkan prinsip bahwa (1) bahasa hendaknya dipandang sebagai teks, bukan semata-mata kumpulan kata atau kaidah kebahasaan, (2) penggunaan bahasa merupakan proses pemilihan bentuk-bentuk kebahasaan untuk mengungkapkan makna, (3) bahasa bersifat fungsional, yaitu penggunaan bahasa yang tidak pernah dapat dilepaskan dari konteks karena bentuk bahasa yang digunakan itu mencerminkan ide, sikap, nilai, dan ideologi penggunanya, dan (4) bahasa merupakan sarana pembentukan kemampuan berpikir manusia.
Secara filsafati, pendidikan adalah proses panjang dan berkelanjutan untuk mentransformasikan peserta didik menjadi manusia yang sesuai dengan tujuan penciptaannya, yaitu bermanfaat bagi dirinya, bagi sesama, bagi alam semesta, beserta segenap isi dan peradabannya. Oleh sebab itu, bahasa Indonesia memiliki peran yang strategis dalam kurikulum 2013 dalam menghela peradaban bangsa terutama pada era globalisasi seperti saat ini.


KAJIAN STILISTIKA: GAYA KATA DALAM CERPEN “DILARANG MENYANYI DI KAMAR MANDI” KARYA SENO GUMIRA ADJIDARMA

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Analisis Pilihan Kata
Penyimpangan dalam pemilihan kata dapat ditemukan pada cerpen karya Seno Gumira Adji yaitu “Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi”. Dari cerpen tersebut ditemukan pemanfaatan kosakata yang secara etimologis berasal dari bahasa lain yaitu bahasa Jawa dan bahasa asing yaitu bahasa Inggris dan bahasa Belanda.
a.       Pemanfaatan Kata Bahasa Daerah
Dalam cerpen “Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi” terdapat pilihan kata yang diambil dari kosakata bahasa Jawa, seperti Zus. Kosakata tersebut digunakan untuk menamai tokoh dalam cerpen tersebut. Nama tokoh seperti itu menyiratkan bahwa pemilik nama adalah orang yang kebanyakan atau rakyat jelata yang berasal dari desa. Nama tokoh Zus menunjukkan nama orang desa, sederhana. Tepatnya seorang gadis indekost yang merantau ke kota untuk bekerja. Sebaliknya pilihan kata seperti tokoh Pak RT, Ibu Saleha, hansip, para suami, dan ibu-ibu dipakai untuk nama tokoh yang hidup di perkampungan kota dengan latar belakang masyarakat menengah ke bawah. Perhatikan kutipan berikut:
Terbayang di mata Pak RT  wajah ibu-ibu sepanjang gang itu. Wajah wanita-wanita yang sepanjang hari memakai daster, sibuk bergunjing, dan selalu ada gulungan keriting rambut di kepalanya. Wanita-wanita yang selalu menggendong anak dan kalau teriak-teriak tidak kira-kira kerasnya, seperti di sawah saja. Wanita-wanita yang tidak tahu cara hidup selain mencuci baju dan berharap-harap suatu hari bisa membeli mebel yang besar-besar untuk ruang tamu mereka yang sempit.

Diksi untuk penamaan tokoh digunakan untuk menapilkan latar, yaitu latar kota, tepatnya perkampungan kota. Dengan begitu, terdapat relasi antara tokoh dengan latar sebagaimana prinsip strukturalisme, yaitu adalanya relasi antarunsur gaya bahasa, relasional antartokoh, relasional antarlatar dalam cerpen “Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi”.
Pilihan kata dari kosakata bahasa daerah yang digunakan untuk penamaan tokoh dapat memertegas tokoh yang berasal dari daerah tertentu dan memertegas latar tempat. Hal itu berarti bahwa pemakaian kosakata bahasa daerah dapat digunakan sebagai sarana penokohan dan sarana pelataran.
Dalam cerpen ini, pilihan kata yang digunakan cenderung apa adanya. Pilihan kata seperti manggut-manggut  dan memamah dapat memertegas latar cerita dan watak tokoh. Kata-kata itu umumnya dijumpai di daerah tertentu dengan latar belakang masyarakat pedesaan. Kata-kata tersebut, dalam cerpen “Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi” dapat dibaca dalam kutipan berikut.
“Sabar Pak, sebentar lagi,” kata hansip.
“Waktunya selalu tepat pak, tak pernah meleset,” sambung warga yang lain. Pak RT manggut-manggut dengan bijak. Ia melihat arloji.
Pak RT begitu malu. Saling memandang dengan Ibu Saleha yang wajahnya pun sama-sama merah padam. Wanita yang parasnya polos itu membasahi bibirnya dengan lidah. Mulutnya yang lebar bagaikan mengandung tenaga yang begitu dahsyat untuk memamah apa saja di depannya.
Pak RT melirik wanita itu dan terkesiap melihat wajah itu tersenyum penuh rasa maklum. Ia tidak menunggu jawaban Pak RT.

Kehadiran kata manggut-manggut dalam kalimat tersebut mengandung arti mengangguk. Hal ini dimaksudkan untuk menggambarkan watak Pak RT sebagai seorang yang bijaksana, dihormati, dan berpikiran maju. Sebagai salah satu tokoh masyarakat, pribadi Pak RT sangat menjadi pusat perhatian sehingga segala sesuatunya harus dipikirkan dengan baik.
Meski begitu adanya, watak tokoh Pak RT juga tak lekang dari sifat manusiawinya ketika berhadapan dengan tokoh Zus. Ia mengimajinasikan tokoh Zus sebagai sosok gadis yang secara biologis dapat mengundang hasrat kelakiannya. Hal itu tersirat dalam kata denotatif memamah yang artinya memakan. Maksudnya tokoh Zus ini dapat menarik perhatian kaum lelaki secara biologis.
Dalam cerpen karya Seno Gumira Adji ini, ditemukan pula kata geger yang digunakan menggambarkan situasi kehidupan suami-istri yang berada perkampungan kota dengan latar belakang yang masih sederhana. Hal itu terungkap dalam kutipan berikut:
Suasana jagi geger. Hansip berlari kian kemari menenangkan ibu-ibu. Rupa-rupanya tanpa suara nyanyian dan bunyi byar-byur-byar-byur orang mandi, para suami tetap bisa membayangkan adegan ranjang dengan wanita bersuara serak-serak basah dan sexy itu. Sehingga bisa dipastikan kebahagiaan rumah tangga warga sepanjang gang itu akan terganggu.

Kehadiran kata geger pada kalimat tersebut berhubungan dengan kata byar-byur-byar-byur justru memertegas kalimat sebelumnya, yang menggambarkan suasana di rumah warga. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ada relasi antara pemilihan kata geger dan byar-byur-byar-byur. Selain menimbulkan efek bunyi juga menyiratkan suasana yang sedang dirasakan oleh para suami. Sekalipun kejadian tersebut hanya bayangan para suami.
Kata digebuk ikut hadir dalam cerpen ini, memberikan nuansa peristiwa yang digambarkan oleh penulis seolah-olah hidup dan nyata. Kata digebuk sebenarnya berasal dari kata gebuk (Jawa) yang berarti pukul kemudian mendapatkan afiksasi (di-) sehingga kata digebuk yang dimaksud adalah dipukul. Hal itu terungkap dalam kutipan berikut:
Pengalamannya yang panjang sebagai ketua RT membuatnya hafal, segala sesuatu bisa disebut kebenaran hanya jika dianut orang banyak. Sudah berapa maling digebuk sampai mati di kampung itu dan tak ada seorangpun yang dituntut ke pengadilan, karena dianggap memang sudah seharusnya.

Melalui tokoh Pak RT pilihan kata itu pula dimanfaatkan sebagai sarana ajaran moral bahwa segala sesuatu hal yang akan kita lakukan harus dipikirkan secara baik-baik. Jangan merasa paling benar atau seenaknya main hakim sendiri.

b.      Pemanfaatan Kata Bahasa Asing
Kosakata yang berasal dari bahasa asing yaitu bahasa Inggris dan bahasa Belanda dapat ditemukan dalam cerpen karya Seno Gumira Adji yaitu “Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi”. Bahasa Inggris digunakan sebagaimana tampak dalam kutipan berikut:
Pak RT pusing tujuh keliling. Bagaimana caranya menertibkan imajinasi? Tapi sebagai ketua RT yang berpengalaman, ia segera mengambil tindakan. Dalam rapat besar besok ia memutuskan, agar kampung itu didirikan fitness centre. Pak RT memutuskan bahwa di fitness centre itu akan diajarkan Senam Kebahagiaan Rumah Tangga yang wajib diikuti oleh ibu-ibu, supaya bisa membahagiakan suaminya di tempat tidur. Pak RT juga sudah berpikir-pikir, pembukaan fitness centre itu kelak, kalau bisa dihadiri Jane Fonda.

Kata fitness centre berasal dari bahasa Inggris yang berarti pusat kebugaran. Hadir nama tokoh asing yaitu Jane Fonda semakin menguatkan cerpen tersebut keterkaitannya dengan pusat kebugaran atau tempat kebugaran yang digambarkan oleh penulis. Secara tersirat juga dapat digambarkan bahwa penulis mengetahui popularitas sosok Jane Fonda sebagai salah satu artis Amerika dan guru senam.
Muncul pula kata sexy atau seksi (dalam ejaan bahasa Indonesia) yang berarti bentuk tubuh yang ramping atau langsing. Kata tersebut digunakan untuk menggambarkan imajinasi tokoh para suami yang masih terbayang dengan tokoh Zus. Seorang gadis indekost yang bisa membuat hasrat kelakian mereka memuncak walaupun melalui suara nyanyian di kamar mandi.
Ketika Pak RT membuka mata, keningnya sudah berkeringat. Dengan terkejut dilihatnya warga masyarakat yang tenggelam dalam ekstase itu mengalami orgasme.

Dari kutipan tersebut, dapat ditemukan kata ekstase dan orgasme. Kedua kata ini sebenarnya diserap dari bahasa Inggris yaitu kata ekstase yang berarti kenikmatan dalam keindahan sedangkan kata orgasme berarti puncak kenikmatan. Pemakaian kedua kata itu untuk menggambarkan keadaan biologis yang dialami oleh tokoh cerita.
Selain itu dalam cerpen ini digunakan kata indekost yang diserap dari bahasa Belanda yaitu in de kost yang berarti tinggal dan ikut makan di dalam rumah tempat menumpang. Seiring dengan perkembangan zaman terjadi pergeseran istilah dari in de kost menjadi kost. Sehingga artinya berubah menjadi tempat tinggal sementara bagi orang-orang perantauan, termasuk tokoh Zus yang digambarkan oleh penulis. Hal tersebut tertuang dalam kutipan di bawah ini:
… Apa Pak RT selama ini buta kalau hampir semua suami di gang ini menjadi dingin di tempat tidur? Masak gara-gara nyanyian seorang wanita yang indekost di tempat Ibu Saeha, kehidupan seksual warga masyarakat harus terganggu? Sampai kapan semua ini berlangsung? Kami ibu-ibu sepanjang gang ini sudah sepakat, dia harus diusir!

2.2 Analisis Morfologi
Dalam cerpen Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi (DMDM) karya Seno Gumira Aji Darma terdapat penyimpangan dalam bentuk morfologis. Penyimpangan itu dilakukan untuk tujuan tertentu seperti untuk menimbulkan kesan imajinatif. Seperti pada kata byar-byur-byar-byur yang merupakan tiruan dari bunyi air yang terdengar ketika seseorang sedang mandi sehingga pemilihan kata byar-byur-byar-byur dapat menimbulkan kesan imajinatif baik dari sisi audio maupun visual. Pada cerpen “Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi” terdapat penyimpangan dalam ranah morfologi, yaitu peniruan bunyi, pemendekan kata, dan reduplikasi.

a. Peniruan Bunyi
Penggunaan kata yang menirukan bunyi sebuah benda dapat menimbulkan kesan imajinatif bagi para pembaca.
…..Lantas byar-byur-byar-byur. Wanita itu rupa-ruapnya mandi dengan dahsyat sekali. Bunyi gayung menghajar bak mandi terdengar mantab dan penuh semangat…. (Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi)

Pilihan kata byar-byur-byar-byur merupakan tiruan bunyi air yang diguyur. Pengarang memilih untuk menggunakan onomatope byar-byur-byar-byur karena diksi itu dinilai lebih mengundang imajinasi bila dibandingkan dengan suara siraman air. Hal serupa juga terdapat pada kata klst-klst-klst untuk memberikan imajinasi bunyi sabun yang sedang digosokkan pada kulit.
Sekarang setelah mendengar sendiri suara yang serak-serak basah itu, Pak RT mesti mengakui suara itu memang bisa dianggap seksi dengan gambaran umum mengenai suara yang seksi. Meski begitu pak RT juga tahu bahwa seseorang tidak harus membayangkan pergumulan di ranjang mendengar nyanyian dari kamar mandi itu, walaupun ditambah dengan bunyi byar-byur-byar-byur, serta klst-klst-klst bunyi sabun menggosok kulit. (Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi)

Selain itu, pengarang juga menggunakan diksi jebar-jebur untuk menggambarkan cepuk air. Maksud tersirat dari onomatope yang dipilih oleh pengarang adalah untuk membangkitkan gairah dan imajinasi pembaca mengenai adegan si tokoh yang sedang mandi. Pada cerpen, pengarang menceritakan laki-laki yang begitu terimajinasi dengan suara perempuan yang sedang mandi. Begitu juga dengan pengarang yang ingin membangkitkan imajinasi para pembaca.
”Ooo itu lain sekali pak. Mereka tidak menyanyikannya di kamar mandi dengan iringan bunyi jebar-jebur. Tidak ada bunyi resluiting, tidak ada bunyi sabun menggosok kulit, tidak ada bunyi karet celana dalam. Nyanyian dikamar mandi yang ini berbahaya, karena ada unsur telanjangnya Pak! Porno! Pokoknya kalau Pak RT tidak mengambil tindakan, kami sendiri yang akan beramai-ramai melabraknya!” (Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi)


b. Pemendekan Kata
Pemendekan kata dilakukan dengan cara menghilangkan imbuhan. Penghilangan imbuhan ini banyak dilakukan oleh pengarang untuk memperlancar ucapan. Pada cerpen, pemendekan kata sering digunakan dalam dialog yang dilakukan pelaku agar ucapannya lebih singkat, akibatnya cerita menjadi lancar.

”Waktunya selalu tepat pak, tak pernah meleset,” sambung warga yang lain. (Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi)

Kalimat diatas semestinya tidak pernah meleset. Namun, bila kalimatnya seperti itu, ucapannya menjadi tidak cocok dengan suasana. Selain terkesan sangat baku, penggunaan kata tidak dinilai kurang komunikatif.
Penyingkatan bukan menjadi kan justru mampu menghidupkan suasana yang menimbulkan rasa menasaran antarorang yang sedang berdialog penggunaan kata bukan dinilai sangat formal dan kurang sesuai bila diterapkan dalam perbincangan santai di masyarakat. Hal itu tampak pada kutipan berikut.

”Betul kan pak, suaranya seksi sekali ?”
”ya.”
“Betul kan Pak, suaranya menimbulkan imajinasi yang tidak-tidak?”
”Ya.”
”Betul kan Pak nyanyian di kamar mandi itu meresahkan masyarakat?”
”Boleh jadi.”
”Lho, ini sudah bukan boleh jadi lagi Pak, sudah terjadi! Apa kejadian kemarin belum cukup?”
(Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi)


c. Reduplikasi
Penggunaan reduplikasi atau bentuk ulang juga tampak pada cerpen “Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi”. Gabungan kata tersebut menyatakan hal yang terjadi berulang-ulang. Hal tersebut ada pada kata manggut-manggut yang seharusnya ditulis menganggut-anggut atau kegiatan mengagguk yang dilakukan berulang-ulang. Mungkin pengarang lebih memilih menggunakan diksi yang lebih dikenal oleh pembaca dan tidak terkesan terlalu formal.
Pak RT manggut-manggut dengan bijak. Ia melihat arloji. (Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi)



Kalimat Reduksi dan Ekspansi

1.        Kalimat Reduksi

Reduksi adalah suatu bentuk kalimat nonkanonik yang dimarkahi oleh pelesapan konstituen. Konstituen yang lesap adalah konstituen yang memiliki informasi lama (old information). Dilihat dari hirarkinya struktur secara sintaksis terdapat dua jenis pelesapan, yakni pelesapan frasa dan pelesapan klausa.

1)        Reduksi Frasa

a.         Reduksi Frasa Nomina
Reduksi dapat terjadi pada level frasa, yakni adanya pelesapan konstituen inti pada level frasa sebagai bentuk kebermarkahan dari kalimat nonkanonik. Dalam reduksi ini, pada level frasa biasanya terjadi pelesapan frasa nomina. Pelesapan dalam frasa nomina terdiri atas dua jenis, yakni elipsis dan pro-form. Elipsis adalah penghilangan konstituen total pada informasi lama. Sebaliknya, pro-form menunjukkan tidak terjadi penghilangan total, tetapi yang terjadi adalah kebermarkahan frasa nomina dengan kata ganti (pronoun).

Contoh:

(1)     The girl sat down on the floor and Ó¨ watched the TV.
FN
‘Gadis itu duduk di atas lantai itu dan Ó¨ menonton TV.

(2)     My father said he would help you (pro-form).
FN
‘Ayah saya mengatakan bahwa dia akan membantu kamu’

Pada contoh kalimat pertama di atas terjadi pelesapan frasa. Penghilangan konstituen di sana adalah konstituen subjek (S) yang mempunyai informasi lama, yakni berkoreferensial dengan S pada klausa pertama. Sebaliknya, pada contoh kedua terjadi pelesapan frasa nomina pro-form, yakni adanya pemarkah kata ganti he ‘dia’ sebagai informasi lama dari frasa nomina sebelumnya, yakni the girl ‘gadis itu’.

b.        Reduksi Frasa Verba
Frasa verba juga mungkin mengalami pelesapan. Pelesapan ini tentunya karena sudah menjadi informasi lama di dalam struktur kalimat tersebut. Pelesapan frasa verba terjadi pada kalimat majemuk. Pada contoh pelesapan frasa verba di bawah ini kata kerja come ‘datang’ tidak muncul pada klausa kedua karena frasa ini bukan informasi baru lagi.

Contoh:
(3)     You can come with us if you want to
FV
‘Kamu dapat datang dengan kami jika kamu mau‘.

c.         Reduksi Frasa Adverbial
Sama halnya dengan frasa-frasa lain, pelesapan frasa adverbia muncul karena frasa ini sudah menjadi informasi yang lama di dalam susunan kalimat tersebut.

Contoh:
(4)     He was born in Boston and lived there all his life.
F Adv.
‘Dia lahir di Boston dan tinggal di sana sepanjang hidupnya’.

2)        Reduksi Klausa

Reduksi klausa juga mungkin terjadi di dalam suatu kalimat. Klausa-klausa yang mengalami reduksi itu biasanya mengambil bentuk, seperti that, this, atau it. Pada contoh di bawah ini that merupakan bentuk reduksi dari klausa Jill informed the press. Pemarkahan klausa itu menjadi bentuk reduksi disebabkan oleh informasi klausa itu merupakan informasi lama sehingga untuk mempersingkat dan membuat informasi tidak monoton, maka dipilihlah bentuk reduksi itu.

Contoh:
(5)     He says Jill informed the press, but that can be true.
‘Dia mengatakan Jill menginformasikan ke pers, tetapi itu dapat menjadi benar’.


2.        Ekspansi Kalimat Tunggal
Kalimat tunggal atas satu objek dan satu predikat. Pada hakikatnya kalau dilihat dari unsur unsurnya, kalimat-kalimat dasar yang sederhana, kalimat-kalimat tunggal yang sederhana itu terdiri atas satu objek dan satu predikat. Kalimat-kalimat yang panjang itu dapat pula ditelusuri dengan pola kalimat dasar.
1)   Pola 1 adalah pola yang mengandung subjek (S) kata benda (mahasiswa) dan predikat (P) kata kerja (berdiskusi). Kalimat itu menjadi
(6)   Mahasiswa berdiskusi
S                      P
Kalimat mahasiswa berdiskusi dapat diperluas menjadi kalimat:

Mahasiswa semester III sedang berdiskusi di Aula
S                                  P                      K

2)   Pola 2 adalah pola kalimat yang bersubjek kata benda (dosen itu) dan berpredikat kata sifat (ramah). Kalimat itu menjadi:
(7)   Dosen itu ramah
S                      P

Kalimat “Dosen itu ramah” dapat diperluas menjadi kalimat:
Dosen itu selalu ramah setiap hari
S                 P                      K

3)   Pola 3 adalah pola kalimat yang bersubjek kata benda (harga buku itu) dan berpredikat kata
bilangan (sepuluh ribu rupiah).
Kalimat selengkapnya adalah:

(8)   Harga buku itu sepuluh ribu rupiah
S                                  P

Kalimat “Harga buku itu sepuluh ribu rupiah” diperluas menjadi:
Harga buku gambar besar itu sepuluh ribu rupiah perbuah
S                                              P

4)   Pola 4 adalah pola kalimat yang bersubjek kata benda (tinggalnya) dan berpredikat frasa depan yang terdiri atas kata depan dan kata benda (di Palembang).
Kalimat ini menjadi
(9)   Tinggalnya di Palembang
S                      P

Kalimat tinggalnya di Palembang dapat diperluas menjadi kalimat:
Sejak dua tahun yang lalu tinggalnya di Palembang bagian selatan
K                                                    S                      P

5)   Pola 5 adalah pola kalimat yang bersubjek kata benda (mereka) berpredikat kata kerja
(menonton) dan bersubjek kata benda (film). Kalimat itu menjadi:
(10)    Mereka Menonton Film
S                 P          O

Kalimat mereka menonton film dapat diperluas menjadi kalimat:
Mereka dengan rombongannya menonton film detektif
S                                  P                      O

6)   Pola 6 adalah pola kalimat yang terdiri atas subjek kata benda (paman), predikat kata kerja (mencarikan), objek (O) kata benda (saya) dan pelengkap (pel), kata benda (pekerjaan). Selengkapnya kalimat itu menjadi:

(11)    Paman mencarikan saya pekerjaan
S               P             O      Pel

Kalimat Paman mencarikan saya pekerjaan dapat diperluas menjadi:
Paman tidak lama lagi akan mencarikan saya, keponakan tunggalnya Pekerjaan
S                             P                                  O                                                         Pel

7)   Pola 7 adalah pola kalimat yang bersubjek kata benda (Rustam) dan berpredikat kata benda (peneliti). Baik subjek maupun predikat. Keduanya kata benda. Kalimat itu selengkapnya menjadi

(12)    Rustam Peneliti
S                 P
Kalimat Rustam peneliti dapat diperluas menjadi:
Rustam, anak pak camat, adalah seorang peneliti
S                                                     P

Memperluas kata tidak hanya terbatas seperti pada contoh-contoh di atas. Tidak tertutup kalimat tunggal seperti itu diperluas menjadi dua puluh kata atau lebih.
Selain sebagian inti (subjek, predikat, objek dan pelengkap) ada juga bagian bukan inti yang memperlengkap makna kalimat. Bagian bukan inti disebut keterangan.
Pada umumnya kehadiran keterangan dalam kalimat tidak wajib sehingga keterangan diperlakukan sebagai unsur yang tidak wajib dalam arti bahwa tanpa keterangan pun kalimat telah mempunyai makna sendiri.
Contoh:
a.       Mereka membunuh binatang buas itu.
b.      Mereka membunuh binatang buas itu dipinggir hutan.
Meskipun kalimat (a) hanya terdiri atas unsur wajib saja, dari segi makna kalimat itu telah dapat memberikan makna yang utuh. Untuk (a) kita dapati sekelompok orang melakukan perbuatan membunuh terhadap binatang buas. Namun ada keterangan lain yang dapat ditambahkan agar berita yang disampaikan itu mengandung makna yang lebih lengkap. Pada (b) kita telah menambahkan tempat peristiwa pembunuhan itu, yakni di pinggir hutan.
Bahasa Indonesia lazim dibedakan Sembilan macam keterangan, yakni keterangan waktu, tempat, tujuan, cara, penyerta, alat, perbandingan/kemiripan, sebab dan kesalingan. Perluasan kalimat tunggal dengan penambahan keterangan bentuk terbatas pada penambahan keterangan yang berupa kata atau frasa.

Perluasan kalimat tunggal terdiri dari Sembilan macam keterangan, antara lain:
1. Keterangan Waktu
2. Keterangan Tempat
3. Keterangan Tujuan
4. Keterangan Cara
5. Keterangan Penyerta
6. Keterangan Alat
7. Keterangan Similatif
8. Keterangan Penyebaban
9. Keterangan Kesalingan

1.      Keterangan Waktu
Keterangan waktu menjelaskan dapan saat terjadinya suatu peristiwa. Fungsi keterangan disisi oleh:
(a) kata tunggal (kemarin, lusa, nanti dan sekarang);
(b) Frasa Nominal (pagi-pagi, malam-malam, kemarin, dulu, sebentar lagi dan tidak lama kemudian);
(c) Frasa Profesional yang berkonstruksi:
di/dari/sampai/pada/sesudah/sebelum/ketika/sejak/buat/untuk+nomina tertentu yang berciri (pukul, tanggal, hari, bulan, tahun, zaman, massa, malam, permulaan, akhir pertunjukan, siang bolong dan pagi).

Contoh:
Disaat itu kamu belum lahir
Jatah beras ini untuk bulan depan
Kita pada akhir pertunjukan harus berkumpul dulu.

2.      Keterangan Tempat
Keterangan tempat adalah keterangan yang menunjukan tempat terjadinya peristiwa atau keadaan. Berbeda dengan keterangan waktu, keterangan hanya dapat diisi oleh frasa professional. Proposisi yang dipakai, antara lain: di, ke, dari, sampai dan pada. Sesudah proposisi itu terdapat kata yang mempunyai ciri tempat: disini, di sana, di situ, dari sana, dari sini ke mana, dari situ dan sebagainya.
Contoh:
1) a. Dia mengerjakan soal itu sampai pukul lima
b. Dia mengerjakan soal itu sampai nomor lima
2) a. saya akan menemanimu sampai hari Minggu
b. Saya akan menemanimu sampai jembatan gantung pukul lima dan hari minggu

Pada (1.a) dan (2.a) mempunyai ciri semantik yang menyatakan waktu, sedangkan nomor lima dan jembatan gantung pada (1.b) dan (2.b) mengandung cirri tempat. Karena cirri itulah penambahan proposisi sampai menimbulkan keterangan yang berbeda-beda. Tidak mustahil bahwa kedua makna itu terdapat dalam satu frasa yang sama.

3.      Keterangan Tujuan
Keterangan tujuan adalah keterangan yang menyatakan arah, jurusan atau maksud perbuatan atau kejadian. Wujud keterangan tujuan selalu dalam bentuk frasa proposisional dan proposisi yang dipakai adalah demi, bagi, guna, untuk dan buat.
Contoh:
a.         Dia bersedia berkorban demi kepentingan Negara
b.         Marilah kita mengheningkan cipta bagi pahlawan yang telah gugur
c.         Dia memang mempunyai tekad besar untuk merantau.

4.      Keterangan Cara
Keterangan cara adalah keterangan yang menyatakan suatu peristiwa berlangsung. Seperti halnya dengan keterangan waktu, keterangan cara dapat berupa kata tunggal atau frasa proposisional. Kata tunggal yang menyatakan cara (sebagian menyatakan kekerapan) adalah, misalnya: seenaknya, semaunya, secepatnya, sepenuhnya dan sebaliknya. Letak keterangan itu pada umumnya sesudah predikat atau objek (kalau ada), tetapi ada juga yang muncul diawal atau akhir kalimat.

Contoh:
Dia berbicara seenaknya dengan atasannya.
Kamu boleh mengambil kue semaumu.
Masalah itu harus diselesaikan secepatnya.

5.      Keterangan Penyerta
Keterangan ini menyatakan adanya atau tidak adanya orang yang menyertai orang lain dalam melakukan suatu perbuatan. Yang pertama dari bentuk keterangan ini adalah kata tunggal sendiri, yang lain adalah bentuk yang berkonstruksi: proposisi dengan, tanpa, bersama, serta, beserta, yang diikuti kata atau frasa tertentu. Kata tertentu itu harus merupakan benda bernyawa atau dianggap bernyawa.
Contoh:

Abraham Lincon sendiri yang menyusun deklarasi itu.
Malam Minggu ini ia duduk sendirian di atas.
Tanpa Istrinya ia menghadiri pesta ini.
Ia berjuang bersama pengikutnya.

6.      Keterangan Alat
Keterangan ini menyatakan ada tidaknya alat yang dipakai untuk melakukan perbuatan. Pengertian alat disini tidak harus konkret. Wujudnya selalu frasa preposisional yang berasal dari dengan dan tanpa.
Contoh:
Kami ke kantor dengan sepeda ini saja.
Tanpa denganmu, aku pasti tidak berhasil.

7.      Keterangan Similatif
Keterangan similatif menyatakan kesetaraan atan kemiripan antara suatu keadaan, kejadian atau perbuatan, dengan kejadian keadaan dan perbuatan lainnya. Wujud frasanya selalu berawal dari preposisi seperti laksana atau sebagai.

Contoh:
Tekadnya untuk merantau laksana gunung kirang
Bertindaklah sebagai satria sejati!

8.      Keterangan Penyebab
Keterangan yang menyatakan sebab atau alasan terjadinya suatu keadaan, kejadian atau perbuatan disebut keterangan penyebaban. Wujudnya adalah frasa preposisional yang berawal dari karena atau sebab.

Contoh:
Banyak pemimpin yang jatuh sebab wanita
Gaji terasa kurang terus karena inflasi

9.      Keterangan Kesalingan
Bila suatu keterangan menyatakan bahwa suatu perbuatan dilakukan secara silih berganti, maka keterangan itu layak untuk disebut sebagai keterangan kesalingan. Wujudnya adalah satu sama lain dan hanya itu.

Contoh:
Kedua anak itu satu sama lain tidak ada yang mau mengalah.
Ketua dan sekretaris organisasi tidak boleh membenci satu sama lain.





DAFTAR PUSTAKA

Swandana, I Wayan. 2011. “Kalimat Bermarkah dalam Bahasa Inggris pada Novel Desecration”. Tesis. Unud.
Perluasan Kalimat Tunggal. http://makalah85.blogspot.com/2009/01/perluasan-kalimat-tunggal.html. (diunduh pada tanggal 6 November 2012 pukul 09.30 WIB).
Penggabungan dan Perluasan Kalimat. http://rewimolok.blogspot.com/2012/04/penggabungan-dan-perluasan-kalimat.html. (diunduh pada tanggal 6 November 2012 pukul 09.30 WIB).