Jumat, 17 Februari 2012

KAIDAH GENETIK DALAM SASTRA BANDINGAN



KAIDAH GENETIK DALAM SASTRA BANDINGAN

Sastra bandingan merupakan salah satu bidang pengkajian yang cukup luas ruang lingkupnya serta memiliki sifat yang rentan. Tokoh-tokoh yang berkecimpung dalam disiplin ilmu sastra bandingan memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai disiplin tersebut. Pada saat tertentu fungsi dan kaidah sastra bandingan bertumpang tindih dengan bidang pengkajian sastra yang lain seperti teori, sejarah, dan kritik sastra.
Perbedaan tanggapan para tokoh tersebut terlihat begitu jelas pada tokoh-tokoh dari madzab Perancis (lama) dan madzab Amerika (modern). Tokoh-tokoh dari madzab Perancis seperti H. M. Posnett, Yoseph Texte Terdinand Baldensperger, M. F. Guyard, Paul van Tieghem, dan Jeane Marie Carre menanggapi sastra bandingan dalam hubungan “historiko saintifik” (pengkajian secara biologis dan menurut teori-teori evolusi).
M. F. Guyard menganggap sastra bandingan dalam konteks sebagai sejarah hubungan kesusastraan antarbangsa. Jean Marie Carre menganggap sastra bandingan sebagai cabang sejarah kesusastraan, sedang Paul van Tieghem menganggap sastra bandingan semata-mata bertujuan mengkaji karya sastra antarbangsa dan hubungannya.
Tanggapan tokoh-tokoh madzab Amerika seperti Frank Waldeigh Chandler, Henry Remak, A. Owen Aldridge, Rene Wellek, dan Austin Warren lebih luas dan memberi implikasi bahwa sastra bandingan merupakan satu bidang pengkajian yang lebih menyeluruh tapi terpusat pada teks sastra.
Karena perbedaan tanggapan seperti yang telah diuraikan di atas, maka sastra bandingan cenderung ke ranah yang sangat luas, dalam, dan rentan. Dari sinilah timbul berbagai kerumitan yang harus dihadapi oleh seorang pengkaji dalam mengaplikasikan sastra bandingan. Misalnya aspek genetik yang merupakan salah satu pendekatan atau kaidah dalam pengkajian sastra bandingan.
Dalam mengkaji asal-usul sebuah karya sastra, terdapat lima aspek yang harus diberi tumpuan, yaitu: 1) pengaruh; 2) saduran (adaptasi); 3) jiplakan (plagiat); 4) peniruan (imitasi); 5) terjemahan. Masalah yang cukup menonjol disini ialah menentukan garis panduan yang baku mengenai kelima aspek tersebut.
Dari permasalahan tersebut, mungkin saja terjadi kekeliruan atau salah tafsir terhadap unsur-unsur yang diperbincangkan. Hal ini tentu menciptakan salah satu kerumitan yang harus dihadapi oleh pengkaji genetik.
Dalam pengkajian genetik, pengkaji perlu meneliti unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik satu per satu karya sastra. Dari segi intrinsik, pengkaji akan meneliti aspek-aspek struktural dua karya sastra atau lebih. Pengamatan ekstrinsik (evolusi) selanjutnya dapat dikaji melalui latar belakang kehidupan pengarang.
Pengkajian genetik memang rumit. Pengkaji perlu melengkapi diri dengan pengetahuan dan ilmu kesusastraan yang luas dan mendalam. Pengkaji juga perlu mengenal karya-karya sastra di berbagai bangsa dan pada pelbagai zaman.
Pengkaji juga perlu mempunyai banyak pengetahuan dalam berbagai disiplin lain dan fenomena universal yang diperkirakan dapat membantu kerja pengkaji. Semua ini cukup penting agar rumusan atau hasil kajian ini rasional dan berwibawa.
Pengkajian genetik ini cukup membantu dalam mengenal pasti keaslian sebuah karya sastra. Pengkajian ini juga dapat menyingkap fenomena dan motif kelahiran karya sastra, dan sekaligus dapat melihat karya sastra-karya sastra dalam skenario yang kedudukannya lebih universal.
Pengkajian genetik ini timbul karena minat yang begitu besar untuk memahami dan menanggapi dunia kesusastraan dalam perspektif yang lebih mendalam, meluas, dan bermakna. Pengkajian ini membuktikan bahwa bidang kesusastraan tidaklah menyendiri dan terasing dari bidang-bidang lain. Bidang kesusastraan merupakan salah satu bidang studi yang yang bersama-sama dengan bidang studi lain dan saling berinteraksi, baik secara sadar atau tidak sadar, dan secara langsung atau tidak langsung.

Pengaruh
Pengaruh merupakan unsur ekstrinsik yaitu kejadian lingkungan pengarang seperti pergolakan politik, sosial-ekonomi, sosial budaya, yang mempengaruhi dan menggelitik perasaan dan jiwa pengarang, sehingga tanpa sadar pengarang ‘terpaksa’ menciptakan karya sastra. Namun dalam kenyataannya seringkali ditemukan bahwa hal-hal yang mempengaruhi karya sastra yang memiliki kemiripan bukan hanya sekadar hubungan pengaruh karya sastra satu dan yang lain, namun juga adanya pengaruh secara sosio-historis maupun pengaruh kultural. Terutama pada karya sastra yang bertema universal, seperti cinta, diferensiasi sosial, ketuhanan, kepahlawanan, dan sebagainya.
Kajian konsep pengaruh, merupakan titik terpenting bagi studi sastra bandingan. Karya yang terpengaruh dengan karya sebelumnya, tentu akan memiliki identitas tersendiri. Dari proses pengaruh-mempengaruhi itu akan terdapat berbagai aspek bandingan yang disebut varian. Dalam konteks ini, memang karya sebelumnya dianggap karya “super”, artinya bisa mempengaruhi karya berikutnya. Seberapa jauh keterpengaruhan tersebut, tergantung kemampuan pengarang. Keterpengaruhan ini jelas akan dipengaruhi oleh berbagai hal, antara lain : (a) perkembangan karir pengarang, (b) proses penciptaan pengarang, (c) tradisi atau budaya pengarang. Dari tiga hal ini, manakala pengarang berikutnya bersikap ceroboh, tentu akan terdapat pengaruh yang langsung atau semakin jelas. Berbeda dengan pengarang yang kreatif, tentu pengaruh tersebut semakin halus dan hampir tersembunyi. Pengarang yang banyak membaca karya lain dan sering bermigrasi ke mana-mana, seringkali terpengaruh sumber.
Ada sebuah kasus, yakni Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang lebih dikenal sebagai Hamka, seorang ulama yang sejak muda membangun tradisi menulis, sehingga setiap langkah dalam pemikirannya bisa diperiksa dan mempertanggungjawabkan dirinya sendiri, seperti yang kemudian berlangsung dalam tuduhan plagiat atas Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (1938). Meski novel ini sudah terbit sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia, ternyata baru menjadi polemik tahun 1962 setelah mengalami cetak ulang untuk kedelapan kalinya, yang sangat beruntung terkumpul dalam buku Tenggelamnya Kapal Van der Wijck dalam Polemik (Junus Amir Hamzah, 1963).
Mengikuti polemik dalam buku tersebut, Hamka dituduh menjiplak karya Musthafa al-Manfaluthi berjudul Magdalaine (disebut juga Madjdulin) yang berbahasa Arab, dan telah diceritakan kembali dalam bentuk film di Mesir dengan judul Dumu-El-Hub (Airmata Cinta). Disebutkan bahwa Manfaluthi ternyata juga ”mentjarternja” dari karya berbahasa Perancis, Sous les Tilleuls (Di Bawah Lindungan Bunga Tilia) yang ditulis Alphonse Karr. Jika dalam hal Manfaluthi sumber bahasa Perancis itu disebut dengan jelas; dalam hal Hamka, yang disebutkan sangat menyukai karya-karya Manfaluthi, memang tidak. Setelah menyebutkan berbagai kemiripan pada berbagai paragraf, termasuk bagaimana Hamka telah berkiat mengubahnya, para penyerangnya memastikan status plagiator tersebut kepada Hamka, sebagai kontradiksi terhadap status sosialnya sebagai agamawan.
Menurut Jassin dalam pengantar buku Manfaluthi yang akhirnya diterjemahkan sebagai Magdalena (1963), ”Memang ada kemiripan plot, ada pikiran- pikiran dan gagasan-gagasan yang mengingatkan kepada Magdalena, tetapi ada pengungkapan sendiri, pengalaman sendiri, permasalahan sendiri. Sekiranya ada niat pada Hamka untuk menyadur Magdalena Manfaluthi, kepandaiannya melukiskan lingkungan masyarakat dan menggambarkan alam serta manusianya, kemahirannya melukiskan seluk-beluk adat istiadat serta keahliannya membentangkan latar belakang sejarah masyarakat Islam di Minangkabau, mengangkat ceritanya itu jadi ciptaan Hamka sendiri….” Ditambahkannya, ”Anasir pengalaman sendiri dan pengungkapan sendiri demikian kuat, hingga tak dapat orang bicara tentang jiplakan, kecuali kalau tiap hasil pengaruh mau dianggap jiplakan. Maka, adalah terlalu gegabah untuk menuduh Hamka plagiat seperti meneriaki tukang copet di Senen.”

Saduran
Saduran atau adaptasi adalah penulisan kembali suatu karya sastra dalam genre yang berbeda dengan genre pertama. Dalam menyadur biasanya unsur-unsur intrinsik seperti alur, perwatakan, tema, dan sebagainya tetap sama dengan karya yang disadur. Unsur-unsur intrinsik inilah yang dirunut oleh pengkaji untuk menemukan asal-usul karya sastra (secara evolusi). Pengkaji akan mengalami kerumitan lagi apabila karya yang disadur itu karya asing.
Contoh saduran yaitu novel “Laskar Pelangi” karya Andrea Hirata yang disadur dalam bentuk film, drama musikal, dan mini seri. Cerpen Asma Nadia yang berjudul “Emak ingin Naik Haji” yang disadur dalam bentuk film. Novel “Ayat-Ayat Cinta” Karya Habiburrahman El Shirazi yang disadur dalam bentuk film.

Jiplakan
Jiplakan (plagiat) merupakan pengambilan bahan karya sastra orang lain yang dikemukakan sebagai karya sendiri. Masalah awal pengkaji ialah menentukan kriteria-kriteria jiplakan “pengambilan bahan karya orang lain” yang bagaimanakah, atau hingga ke tahap manakah yang dapat dianggap jiplakan? Pengertian plagiat itu subjektif, dan mungkin saja keliru dengan gejala pengaruh, saduran, atau tiruan.
Dalam hal sajak saduran dan terjemahan yang termuat di media cetak dengan nama Chairil Anwar sebagai penulisnya, tanpa nama penulis sajak yang menjadi sumbernya, seperti Willem Elsschot, Archibald MacLeish, E Du Perron, John Cornford, Hsu Chih-Mo, Conrad Aiken, WH Auden, itulah yang disebut sebagai sajak plagiat. Bandingkan puisi Chairil Anwar, “Krawang Bekasi” dengan puisi Archibald Macleish, “The Young Dead Soldier”. Namun, melalui perbandingan atas karya asli dalam bahasa Inggris dan Belanda, dengan hasil saduran dan terjemahan Chairil dalam bahasa Indonesia, sungguh HB Jassin sebaliknya telah menunjukkan ”kebesaran” Chairil Anwar, yang harus bekerja dengan ”modal” bahasa dan pencapaian karya sastra Indonesia seadanya yang tersedia sampai tahun kematiannya, yakni 1949.

Peniruan
Peniruan (imitasi) mempunyai konotasi yang membawa implikasi yang kurang menyenangkan, terutama bagi pengarang. Oleh karena itu, pengkaji hendaknya berhati-hati dalam menentukan suatu karya sastra itu tercipta karena pengaruh atau peniruan.
Saran Saman (1986:104). “pengkajian pengaruh hendaknya dijadikan penerangan terhadap proses penciptaan sebuah karya sastra.” Bahkan menurut Alridge: “suatu karya sastra tidak akan terwujud tanpa pengarangnya membaca karya sastra-karya sastra pengarang sebelumnya.” Sama dengan pendapat Prof. Dr. A. Teeuw: “Karya sastra tercipta tidak dalam kekosongan.”
Menurut Barthes, teks bukan lagi deretan kata dengan makna teologis, yakni bahwa ada ”pesan” dari pengarang yang berperan bagaikan Tuhan, melainkan teks sebagai ruang multidimensi tempat telah dikawinkan dan dipertentangkan beberapa tulisan, tidak ada yang aslinya: teks adalah suatu tenunan dari kutipan, berasal dari seribu sumber budaya. Seorang pengarang diibaratkannya hidup di dalam kamus raksasa, tempat ia hidup hanya untuk meniru buku, dan buku ini sendiri hanya merupakan jaringan tanda, peniruan tanpa akhir. Suatu teks terdiri dari penulisan ganda, beberapa kebudayaan yang bertemu dalam dialog, dalam hubungan-hubungan, yang terkumpul bukan pada pengarang (yang kekiniannya sudah berlalu) tetapi pada pembaca, ruang tempat teks diguratkan tanpa ada yang hilang. Pembaca adalah seseorang yang memegang semua jalur dari mana tulisan dibuat dalam medan yang sama. Sehingga, menurut Barthes, mitos harus dibalik: Kelahiran pembaca harus diimbangi oleh kematian pengarang.

 Terjemahan
Terjemahan adalah pemindahan suatu karya sastra dalam suatu bahasa ke bahasa yang lain. Terjemahan juga merupakan suatu unsur yang dapat dikaji untuk mengungkapkan asal-usul sebuah karya. Karya terjemahan sebenarnya tidak menimbulkan banyak masalah bagi pengkaji genetik, karena penerjemahan merupakan suatu proses dan aktivitas yang mempunyai konsep, kaidah, dan garis panduan tertentu. Misalnya, Trisno Sumardjo menerjemahkan Romeo and Juliet (1595) karya William Shakespeare dengan Romeo dan Julia (Jakarta: Pembangunan, 1955; cetakan kedua diterbitkan Pustaka Jaya tahun 1976). Nama Julia digunakan tentu saja dimaksudkan agar nama itu lebih akrab dengan pembaca Indonesia.

Simpulan
Lima fenomena (pengaruh, saduran, tiruan, jiplakan, dan terjemahan) itu sangat penting dikaji atau diteliti dalam usaha menemukan sumber dan asal-usul sebuah karya sastra. Yang lebih penting dalam mengkaji sumber dan asal-usul sebuah karya sastra, pengkaji perlu mendapatkan bahan-bahan lain seperti karya sastra, tulisan nonsastra, tulisan dari bidang-bidang lain, yang kemudian akan dapat mengkaji secara perbandingan.

DAFTAR PUSTAKA

Ajidarma, Seno Gumira. 2008. Teropong: Plagiarisme dan Kepengarangan. Jakarta : Kompas

Baribin, Raminah. 2003. Sastra Bandingan. Semarang : Universitas Negeri Semarang.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta : Pustaka Jaya.


0 komentar:

Posting Komentar