Minggu, 19 Februari 2012

Referensi dalam Wacana Tulis Berbahasa Indonesia di Radar Banyumas


A.    PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kajian wacana merupakan kajian bahasa di atas kalimat. Kajian wacana juga merupakan kajian bahasa dalam penggunaannya secara nyata. Sebagai tataran terbesar dalam hierarki kebahasaan, wacana tidak merupakan susunan kalimat secara acak, tetapi merupakan satuan bahasa, baik lisan maupun tertulis. Untuk wacana yang disampaikan secara tertulis, penyampaian isi atau informasi disampaikan secara tertulis. Ini dimaksudkan agar tulisan tesebut dapat dipahami dan diinterpretasikan oleh pembaca. Hubungan antarkalimat dalam sebuah wacana tulis tersusun berkesinambungan dan membentuk suatu kepaduan. Oleh karena itu, kepaduan makna dan kerapian bentuk pada wacana tulis merupakan salah satu faktor yang penting dalam rangka meningkatkan tingkat keterbacaan.
Wacana merupakan sebuah struktur kebahasaan yang luas melebihi batasan-batasan kalimat, sehingga dalam penyusunannya hendaknya selalu menggunakan bentuk tulis yang efektif. Salah satunya dengan penggunaan kohesi internal yang tepat. Kohesi merupakan salah satu unsur pembangun wacana yang menjadikan wacana menjadi padu dan jelas secara gamatikal. Konsep suatu ikatan dalam kebahasaan merupakan unsur pembangun yang membentuk sebuah wacana, sehingga menjadi kesatuan rangkaian kalimat yang bermakna.
Pemakaian bahasa yang baik dan benar, berarti sesuai dengan tata gramatikal dalam wacana tulis. Suatu wacana mempunyai kesatuan makna yang diciptakan melalui hubungan yang kohesif antarkalimat dalam wacana diinterpretasikan sesuai dengan ketergantungan antarunsur-unsur (Halliday dan Hasan dalam Cahyono 1995:231). Dengan demikian, kalimat yang terdapat dalam wacana saling berkaitan.
Baryadi (2002:17) mengemukakan bahwa untuk menciptakan keutuhan, bagian wacana harus saling berhubungan. Sejalan dengan pandangan bahwa bahasa itu terdiri dari bentuk (form) dan makna (meaning), hubungan dalam wacana dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu hubungan bentuk yang disebut kohesi (cohesion) dan hubungan makna atau hubungan semantis yang disebut koherensi (coherence).
Salah satu hubungan bentuk dalam sebuah wacana dapat dilakukan dengan menggunakan penanda referensial. Hubungan referensial menandai hubungan kohesif wacana melalui pengacuan. Sumarlam (2003:23) menyebutkan bahwa pengacuan atau referensi adalah salah satu jenis kohesia gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual yang lain (atau suatu acuan) yang mendahului atau mengikutinya.
Dalam wacana tulis terdapat berbagai unsur seperti pelaku perbuatan, penderita perbuatan, pelengkap perbuatan, perbuatan yang dilakukan oleh pelaku, dan tempat perbuatan (Alwi 1998:40). Unsur itu acap kali harus diulang-ulang untuk mengacu kembali atau untuk memperjelas makna. Oleh karena itu, pemilihan kata serta penempatannya harus tepat sehingga wacana tadi tidak hanya kohesif, tetapi juga koheren. Dengan kata lain, referensinya atau pengacuannya harus jelas.  Referensi di dalam bahasa yang menyangkut nama diri digunakan sebagai topik baru (untuk memperkenalkan) atau untuk menegaskan bahwa topik masih sama. Topik yang sudah jelas biasanya dihilangkan atau diganti. Pada kalimat yang panjang, biasanya muncul beberapa predikat dengan subjek yang sama dan subjek menjadi topik juga. Subjek hanya disebutkan satu kali pada permulaan kalimat, lalu diganti dengan acuan (referensi) yang sama. Perhatikan contoh berikut,

(1)   Safira  kembali ke Indonesia. Dia membeli rumah baru di daerah Kebayoran, dan mulai mengatur hidupnya kembali di tempat baru itu.

Pada contoh (1) kata ‘Safira’ merupakan topik yang diletakkan di depan paragraf. Pada kalimat berikutnya topik yang masih sama diulang kembali menggunakan penanda referensial persona ‘dia, dan -nya’, serta penanda referensial demonstratifa ‘itu’. Dengan adanya penanda referensial membuat kepaduan dalam kalimat. Apabila penanda ini dihilangkan berarti topik merupakan informasi yang kurang penting sebagai unsur kesatuan yang suplementer (pelengkap). Bila penanda referensial ini digunakan dalam kalimat tersebut makna akan dijadikan kesatuan terdahulu. Dalam hal ini, pronomina dapat digunakan sebagai referensi dalam bahasa Indonesia. Pembahasan yang akan dilakukan adalah wacana bentuk tulis dalam surat kabar karena peneliti menduga bahwa wacana tulis dalam surat kabar mempunyai variasi penggunaan penanda referensial. Fungsinya sebagai alat penggabung antarkalimat yang satu dengan yang lain, antara paragraf yang satu dengan yang lain sehingga membentuk keterkaitan. Penanda kebahasaan itu biasa disebut kohesi referensial.
Adapun pemilihan wacana tulis dalam surat kabar dikarenakan wacana yang terdapat pada surat kabar lebih bervariasi jenisnya. Misalnya terdapat  wacna narasi, eksposisi, argumentasi, persuasi. Dengan kevariasian jenis wacana tersebut menjadikan data penelitian berasal dari berbagai jenis wacana. Selain itu, surat kabar adalah sebuah lembaga yang menggunakan bahasa tulis sebagai alat komunikasi. Dengan demikian, penggunaan bahasa selalu diperhatikan untuk membentuk sebuah hubungan dalam sebuah wacana. Pemilihan surat kabar Radar Banyumas sebagai sumber data dalam penelitian dengan mempertimbangkan beberapa aspek. Radar Banyumas dikelompokkan ke dalam surat kabar lokal. Radar Banyumas merupakan surat kabar ternama di Kabupaten Banyumas dan sekitarnya yang tentunya berbanding lurus dengan efektifitas wacana  yang berada di dalamnya. Beranjak dari fenomena yang ada dalam latar belakang di atas maka peneliti mengangkat judul “Referensi dalam Wacana Tulis Berbahasa Indonesia di Radar Banyumas”.

Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat dikemukakan bahwa pokok masalah dari penelitian ini adalah referensi sebagai penghubung wacana tulis dalam surat kabar. Dari pokok masalah itu dapat identifikasikan beberapa rumusan masalah berikut ini.
1.      Jenis penanda referensial apa yang terdapat pada wacana tulis dalam surat kabar harian Radar Banyumas ?
2.      Bagaimana wujud penanda referensial yang terdapat pada wacana tulis dalam surat kabar harian Radar Banyumas ?

Deskripsi Singkat
Sesuai rumusan masalah di atas, penelitian ini mendeskripsikan
1.      Mendiskripsi jenis penanda referensial yang terdapat pada wacana  tulis dalam surat kabar harian Radar Banyumas.
2.      Mendiskripsi wujud penanda referensial yang terdapat pada wacana tulis dalam surat kabar harian Radar Banyumas
















B.     KAJIAN TEORI

Teori yang digunakan untuk membantu menganalisis penelitian ini adalah hakikat wacana jenis wacana, unsur wacana, syarat wacana, referensi.

Hakikat Wacana
Istilah wacana (discourse) berasal dari bahasa latin yaitu discursus. Discursus terbentuk dari dua kata dis yang berarti dari arah yang berbeda dan currere berarti lari. Pengertian tersebut dalam perkembangannya, berarti penggunaan bahasa dari suatu topik lain secara teratur. Menurut Hoed (1994:134) bahwa wacana dapat terdiri hanya satu kata. Meskipun hanya terdiri dari satu kata, makna yang terkandung tidak hanya makna itu saja, akan tetapi makna luarnya yaitu makna yang diacu oleh kata tersebut. Lebih lanjut Hoed (1994:134) menjelaskan bahwa wacana mengacu pada unsur di dalam dan di luarnya, sedangkan kalimat atau kata hanya mengacu di dalam dirinya.
Sementara itu, Tarigan (1987:27) berpendapat bahwa wacana yaitu suatu bahasa terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan korelasi dan koherensi yang tertinggi dan berkesinambungan yang memunyai awalan dan akhiran yang nyata disampaikan secara lisan maupun tulis. Dalam bahasa tulis awalan dan akhiran sangatlah penting, karena dalam bahasa tulis tanda baca dan konteks kalimat yang mempermudah pemahaman pembaca. Berbeda dengan bahasa tulis, dalam bahasa lisan konteks kalimat dan ekspresi penutur yang mendukung. Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh Kridalaksana (1987:184-259) bahwa satuan bahasa yang lengkap bukanlah kata atau kalimat melainkan wacana. Wacana adalah satuan kebahasaan yang unsurnya terlengkap yang tersusun dari kalimat yang berupa lisan maupun tulis, yang membentuk suatu pengertian yang serasi dan terpadu baik dalam pengertian maupun dalam manifestasi finetisnya. Kridalaksana (1993:231) dalam Kamus Linguistik, bahwa wacana yaitu satuan bahasa terlengkap dalam hierarki gramatikal tertinggi atau terbesar. Chaer (2003:267) berpendapat yang sama dengan Kridalaksana bahwa wacana adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar.
Sebagai satuan bahasa yang lengkap, maka dalam wacana itu berarti terdapat konsep, gagasan, pikiran, atau ide yang utuh, yang bisa dipahami oleh pembaca (dalam wacana tulis) atau pendengar (dalam wacana lisan), tanpa keraguan apa pun. Sebagai satuan gramatikal tertinggi atau terbesar, berarti wacana itu dibentuk dari kalimat atau kalimat-kalimat yang memenuhi persyaratan gramatikal, atau persyaratan kewacanaan lainnya.
Dengan kata lain wacana dapat diartikan sebagai satuan yang menyatakan topik tertentu yang tertuang dalam kalimat atau sekumpulan kalimat yang mengikuti konteks tertentu.

Jenis Wacana
Wacana dapat dikalsifikasikan dengan berbagai cara tergantung dari sudut kita memandang, antara lain:
1.      Berdasarkan tertulis atau tidaknya wacana,
2.      Berdasarkan langsung atau tidak langsung pengungkap wacana,
3.      Berdasarkan cara penuturan wacana.
Wacana berdasarkan realisasinya dapat dibagi menjadi dua yaitu wacana tulis dan wacana lisan (Tarigan 1987:56-57). Wacana tulis adalah wacana yang disampaikan secara tertulis, sedangkan wacana lisan adalah wacana yang disampaikan secara lisan. Berdasarkan langsung tidaknya pengungkapan wacana dapat dibedakan menjadi wacana langsung dan wacana tidak langsung. Wacana langsung merupakan kutipan yang sebenarnya dibatasi oleh informasi, sedangkan wacana tidak langsung adalah pengungapan kembali wacana berupa mengutip kata-kata tanpa mengutip kata-kata yang dipakai oleh pembicara dengan memperhatikan konstruksi gramatikal atau kata-kata tertentu antara lain dengan klausa subordinat dan sebagainya.
Berdasarkan cara menuturkannya, maka wacana dapat diklasifikasikan atas wacana pembeberan dan wacana penuturan. Wacana pembeberan adalah wacana yang tidak mementingkan waktu dan penutur, berorientasi pada pokok pembicaraan, dan bagianbagiannya diikat secara logis. Sedangkan, wacana penutur adalah wacana yang mementingkan urutan waktu, dituturkan oleh persona pertama atau ketiga dalam waktu tertentu, berorientasi pada penutur dan seluruh bagiannya diikat secara kronologis.

Unsur Wacana
Sebagai suatu bentuk wacana atau ujaran yang luas, wacana terdiri atas bermacam-macam unsur. Tarigan membagi unsur-unsur wacana sebagai berikut:
1.      tema, yaitu pokok pembicaraan yang ada dalam sebuah wacana baik wacana lisan maupun tulisan,
2.      unsur bahasa, yaitu kata, klausa, frasa, dan kalimat,
3.      konteks yang terdapat dalam sekitar wacana,
4.      makna dan maksud,
5.      kohesi dan koherensi.
Sebagai suatu jenis pengungkapan, wacana terdapat satu gagasan pokok atau tema. Tema itu dikembangkan dengan kalimat-kalimat yang padu, sehingga akan melahirkan satu jenis wacana yang kohesi dan koheren.
Kehadiran suatu kalimat dimungkinkan dalam sebuah wacana, tetapi kalimat itu harus disertai konteks. Karena, wacana juga terbangun oleh suatu konteks yang terdapat disekitar wacana. Misalnya, kalau kita sedang bercakap-cakap, maka situasi yang melatarbelakangi peristiwa itu akan sangat mendukung percakapan kita. Konteks wacana dibentuk oleh berbagai unsur, seperti situasi, pembicara, pendengar, kode, dan saluran (Muliono dan Dardjowidjojo, 1989).
Wacana juga terbentuk oleh unsur-unsur kohesi dan koherensi. Kohesi adalah hubungan yang ditandai oleh penanda (lahir, yakni penanda yang menghubungkan apa ang dinyatakan) dengan apa yang dinyatakan sebelumnya dalam wacana tersebut. Kohesi merupakan keruntutan kalimat-kalimat dan hubungan struktural antar kalimat dalam wacana.
Kohesi dalam sebuah wacana tidak hanya menyatakan pertalian bentuk lahir belaka, melainkan yang penting ialah bahwa kohesi (yang baik) menyiratkan koherensi (Samsuri, 1987:47). Koherensi merupakan hubungan semantis antar kalimat atau antar bagian wacana, yaitu hubungan yang serasi antar proposisi atau antar makna yang satu dengan makna yang  lain (Oka, 1994:226).

Syarat Wacana
Untuk membentuk sebuah wacana yang utuh ada sejumlah syarat. Syarat pertama adalah adanya topik, kedua adalah tuturan pengungkap topik, dan ketiga adanya kohesi dan koherensi (Oka 1994:266).

1)      Topik
Topik merupakan hal yang dibicarakan dalam sebuah wacana, topik itu dapat dinyatakan dengan redaksi, “tentang apa seseorang berbicara?”, “apa yang dikatakan seseorang?”, “apa yang mereka percakapkan?”, dan sebagainya. Hal ini berarti topik menjiwai seluruh bagian wacana. Topiklah yang menyebabkan lahirnya wacana dan berfungsinya wacana dalam proses komunikasi.

2)       Tuturan Pengungkap Topik
Syarat wacana yang kedua adalah tuturan pengungkap topik, topik perlu dijabarkan sehingga makna yang disusun dari beberapa kalimat menjadi utuh karena wujud konkret tuturan itu adalah kalimat atau untaian kalimat yang membentuk teks. Teks yang dimaksudkan di dalam wacana tidak selalu berupa tuturan tulis, tetapi juga berupa tuturan lisan. Oleh karena itu, di dalam kajian wacana terdapat teks tulis dan teks lisan.

3)      Kohesi dan Koherensi
Pada umumnya wacana yang baik akan memiliki kohesi dan koherensi. Kohesi dan koherensi adalah syarat wacana yang ketiga. Kohesi adalah keserasian hubungan antara unsur yang satu dengan yang lain dalam wacana sehingga terciptalah pengertian yang apik atau koheren. Kohesi  merujuk pada pertautan bentuk, sedangkan koherensi merujuk pada pertautan makna. Wacana yang baik pada umumnya memiliki keduanya. Kalimat atau kata yang satu dengan yang lainnya bertautan; pengertian yang satu menyambung dengan pengertian yang lainnya.
Kohesi merupakan aspek formal bahasa dalam wacana (hubungan yang tampak pada bentuk). Kohesi merupakan organisasi sintaksis dan merupakan wadah kalimat-kalimat yang disusun secara padu dan padat untuk menghasilkan tuturan (tarigan 1987:96). Grawmsky (dalam Tarigan 1987:96) mengutarakan bahwa kohesi adalah hubungan antarkalimat di dalam sebuah wacana baik dalam skala gramatikal maupun dalam skala leksikal tertentu.
Pranowo (dalam Purwati 2003:21) berpendapat bahwa koherensi adalah cara bagaimana komponen-komponen wacana yang berupa konfigurasi konsep dan hubungan menjadi relevan dan saling mengait. Wabster (dalam Tarigan 1987:104) memberikan batasan koherensi sebagai berikut:

Koherensi:
1.      Kohesi; perbuatan atau keadaan menghubungkan, mempertalikan.
2.      Koneksi; hubungan yang cocok dan sesuai atau ketergantungan satu sama yang lain yang rapi, beranjak dari hubungan-hubungan alamiah bagian-bagian atau hal-hal satu sama lain, seperti bagian-bagian wacana, atau argumen-argumen suatu rentetan penalaran.

Wacana yang utuh adalah wacana yang kohesif dan koheren. Keutuhan wacana merupakan faktor yang menentukan kemampuan bahasa. Kohesi merupakan hubungan perkaitan antarproposisi yang dinyatakan secara  eksplisit oleh unsur-unsur gramatikal dan semantik dalam kalimat-kalimat yang membentuk wacana (Alwi 1998:427)
Perhatikan kalimat-kalimat berikut,

(2)   A : Apa yang dilakukan Si Ali?
 B : Dia memukuli istrinya.
(3)   A : apa yang dilakukan si Ali?
 B : Jahanam itu memukuli istrinya.

Proposisi yang dinyatakan oleh A pada (2) berkaitan dengan proposisi yang dinyatakan oleh B dan perkaitan tersebut diwujudkan dalam bentuk pemakaian pronomina dia yang merujuk ke si Ali. Pada (3) perkaitan itu dinyatakan dengan frasa jahanam itu yang dalam konteks normal mempunyai rujukan yang sama, yakni si Ali. Baik pada (2) maupun (3) perkaitan itu juga dapat dilihat pada verba dilakukan dan memukuli yang mempunyai kesinambungan makna.

Referensi (Pengacuan)
Secara tradisiomal referensi berarti hubungan antara kata dengan benda. Kata buku mempunyai referensi (tunjukan) kepada sekumpulan kertas yang terjilid untuk ditulis atau dibaca.
Ketika membicarakan pandangan semantik Lyon (dalam Brown 1996:28) mengatakan bahwa hubungan antara kata dengan bendanya adalah hubungan referensi: kata-kata menunjuk benda. Pandangan kaum tradisional ini terus berpengaruh dalam bidang linguistik (seperti Semantik Leksikal) yang menerangkan hubungan yang ada itu adalah hubungan antara bahasa dengan dunia (benda) tanpa memperhatikan si pemakai bahasa tersebut. Tetapi Lyon pada pernyataan yang terbaru, ketika membicarakan referensi tanpa memperhatikan si pembicara tidaklah benar. Si pembicara yang paling tahu tentang referensi kalimatnya.
Dari keterangan tersebut, dapat kita ketahui bahwa pada analisis wacana referensi itu dianggap sebagai tindak tanduk dari si pembicara atau si penulis. Dengan kata lain, referensi dari sebuah kalimat sebenarnya ditentukan oleh si pembicara atau si penulis. Kita sebagai pembaca atau pendengar hanya dapat menerka apa yang dimaksud (direferensikan) oleh si pembaca atau si penulis.  
Senada dengan pernyataan itu Djajasudarma (1994:51) mengemukakan bahwa secara tradisional, referensi merupakan hubungan antara kata dan benda, tetapi lebih lanjut dikatakan sebagai bahasa dengan dunia. Ada pula yang menyatakan referensi adalah hubungan bahasa dengan dunia tanpa memperhatikan pemakai bahasa. Pernyataan demikian dianggap tidak berterima karena pemakai bahasa (pembicara) adalah penutur ujaran yang paling tahu referensi bahasa yang diujarkanya.  
Pengacuan atau referensi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal atau berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain (atau suatu acuan) yang mendahului atau mengikutinya (Sumarlam 2003:23)
Menurut Ramlan (1993:12) yang dimaksud referensi (penunjukan) adalah penggunaan kata atau frasa untuk menunjuk atau mengacu kata, frasa, atau mungkin juga satuan gramatikal yang lain. Dengan demikian, dalam penunjukan  terdapat dua unsur, yaitu unsur penunjuk dan unsur tertunjuk. Kedua unsur itu haruslah mengacu pada referen yang sama.
Referensi dalam analisis wacana dapat berupa endofora (anafora dan katafora) dan eksofora. Endofora bersifat tekstual, referensi (acuan) ada di dalam teks, sedangkan eksofora bersifat situasional (acuan atau referensi di luar teks). Endofora terbagi atas anafora dan katafora berdasarkan posisi (distribusi) acuannya (referensinya). Anafora merujuk silang pada unsur yang disebutkan terdahulu; katafora merujuk silang pada unsur yang disebutkan kemudian (Dajajasudarma 1994:51).
Halliday dan Hasan (dalam Hartono 2000:147) membagi referensi menjadi tiga tipe, yaitu: (1) referensi personal, (2) referensi demonstratif, dan (3) referensi komparatif.

Referensi Persona

Referensi persona mencakup ketiga kelas kata ganti diri yaitu kata ganti orang I, kata ganti orang II, dan kata ganti orang III, termasuk singularis dan pluralisnya. Referensi persona direalisasikan melalui pronomina persona (kata ganti orang). Pronomina persona adalah pronomina yang dipakai untuk mengacu pada orang. Pronomina persona dapat mengacu pada diri sendiri (pronomina persona pertama), mengacu pada orang yang diajak bicara (pronomina persona kedua), atau mengacu pada orang yang dibicarakan (pronomina persona ketiga). Di antara pronomina itu, ada yang mengacu pada jumlah satu atau lebih dari satu.  Ada bentuk yang besifat eksklusif , ada yang bersifat inklusif, dan ada yang bersifat netral (Alwi 1998:249).

Referensi Demonstratif

Menurut Kridalaksana (1994:92) demonstrativa adalah jenis yang berfungsi untuk menunjukkan sesuatu (anteseden) di dalam maupun di luar wacana. Dari sudut bentuk, dapat dibedakan antara (1) demonstrativa dasar, seperti itu dan ini, (2) demontrativa turunan, seperti berikut, sekian, (3) demonstrativa gabungan seperti di sini, di situ, di sana, ini itu, di sana-sini
Sumarlam (2003:25) membagi pengacuan demonstratif (kata ganti penunjuk) menjadi dua, yaitu pronomina demonstratif waktu (temporal) dan pronomina tempat (lokasional). Pronomina demonstratif waktu ada yang mengacu pada waktu kini (seperti kini dan sekarang), lampau (seperti kemarin dan dulu), akan datang (seperti besok dan yang akan datang), dan waktu netral (seperti pagi  dan siang). Sementara itu, pronomina demonstratif tempat ada yang mengacu pada tempat atau lokasi yang dekat dengan pembicara (sini, ini), agak jauh dengan pembicara (situ, itu), jauh dengan pembicara (sana), dan menunjuk tempat secara eksplisit (Surakarta, Yogyakarta)
Referensi Komparatif

Pengacuan komparatif (perbandingan) ialah salah satu jenis kohesi gramatikal yang bersifat membandingkan dua hal atau lebih yang mempunyai kemiripan atau kesamaan dari segi bentuk/wujud, sikap, sifat, watak, perilaku, dan sebagainya (Sumarlam 2003:26). Kata-kata yang biasa digunakan untuk membandingkan misalnya seperti, bagai, bagaikan, laksana, sama dengan, tidak berbeda dengan, persis seperti, dan persis sama dengan.
Referensi komparatif dalam bahasa Indonesia menurut Hartono (2000:151) berkenaan dengan perbandingan dua maujud atau lebih, meliputi tingkat kualitas atau intensitasnya dapat setara atau tidak setara. Tingkat setara disebut tingkat ekuatif, tingkat yang tidak setara dibagi menjadi dua yaitu tingkat komparatif dan tingkat superlatif. Tingkat ekuatif mengacu ke kadar kualitas atau intensitas yang sama atau mirip. Tingkat komparatif mengacu ke kadar kualitas atau intensitas yang lebih atau yang kurang. Tingkat superlatif mengacu ke kadar kualitas atau intensitas yang paling tinggi di antara adjektiva yang dibandingkan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kohesi referensial dalam bahasa indonesia dapat berupa: pengacuan persona berupa kelas pronomina persona pertama, kedua, dan ketiga; pengacuan demonstratif (penunjuk) dengan pronomina penunjuk umum, pronomina penunjuk ihwal dan penunjukan adverbia; sedangkan pengacuan komparatif meliputi tingkat ekuatif, tingkat komparatif, dan tingkat superlatif.










C.    METODE PENELITIAN

Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan di dalam penelitian ini ada dua, yaitu secara teoretis dan secara metodologis. Secara teoretis yang digunakan adalah pendekatan analisis wacana, yaitu pendekatan yang mengkaji wacana baik secara internal maupun eksternal dengan tujuan untuk mengungkapkan kaidah bahasa yang mengkonstruksi wacana, pemproduksian wacana, pemahaman wacana, dan pelambangan suatu hal dalam wacana dalam fungsinya sebagai alat komunikasi. 
Selain secara teoretis, digunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Bogdan dan Tylor (dalam Moleong 1989:3) mendiskripsikan penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan, tentang orang-orang yang diamati. Dengan pernyataan lain Kirk dan Miller (dalam Moleong 1989:3) menyatakan penelitian kualitatif sebagai suatu tradisi dalam ilmu-ilmu sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan langsung atas manusia di lingkungan hidup mereka yang nyata.
Alasan pemilihan pendekatan ini adalah karena penelitian ini berkaitan dengan data yang tidak berupa angka-angka, melainkan berupa penggunaan bentuk-bentuk bahasa berupa bentuk-bentuk verbal yang berwujud tuturan.
Pendekatan lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan pendekatan deskriptif, artinya data yang akan dianalisis dan hasil analisisnya berbentuk deskripsi atau fenomena tidak berupa angka-angka koefesian tentang hubungan antarvariabel. Oleh karena penelitian ini tidak terkait dengan variabel-variabel terukur. Deskripsi dalam penelitian ini merupakan deskripsi atas kenyataan yang ada yaitu sarana penanda referensial dalam wacana tulis.

Data dan Sumber Data
Dalam penelitian ini, data yang diambil adalah penggalan wacana tulis yang diindikasikan mengandung jenis dan wujud penanda referensial dalam surat kabar di harian Radar Banyumas tanggal 11 Desember 2010.
Sumber data dalam penelitian ini adalah wacana tulis dalam surat kabar di harian Radar Banyumas tanggal 11 Desember 2010 yang mengandung referensi. Pemilihan wacana tulis dalam surat kabar Radar Banyumas sebagai sumber data dalam penelitian dengan mempertimbangkan beberapa aspek. Radar Banyumas dikelompokkan ke dalam surat kabar lokal. Radar Banyumas merupakan surat kabar ternama di Kabupaten Banyumas dan sekitarnya yang tentunya berbanding lurus dengan efektifitas wacana yang berada di dalamnya.

Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode simak. Metode simak merupakan cara pengumpulan data dengan menyimakpenggunaan bahasa (Sudaryanto, 1993:133). Yang disimak dalam penelitian ini adalah wacana tulis dalam harian Radar Banyumas. Metode ini juga digunakan untuk memilah wujud dan jenis penanda referensial  sebelum dimasukkan dalam korpus data. Data dikumpulkan dengan teknik catat. Teknik pencatatan dilakukan dengan mencatat penggalan wacana tulis yang diindikasi mengandung penanda referensial.
Pada teknik menyimak akan diperiksa wacana yang diteliti satu- persatu. Pada pemeriksaan ini akan menentukan wujud penanda referensial yang ada pada kalimat ataupun dalam pengalan teks. Selain untuk mengetahui wujud penanda referensial yang digunakan di dalam wacana, identifikasi juga digunakan untuk menggolongkan jenis-jenis penanada referensial yang digunakan.
Langkah-langkah yang ditempuh untuk mengumpulkan data adalah sebagai berikut.
1.      mengumpulkan wacana tulis dari sumber data yang diduga mengandung penanda referensial dari surat kabar
2.      mencari penanda referensial dalam wacana tulis berbahasa Indonesia dalam surat kabar
3.      memberi tanda wujud penanda referensial dalam wacana tulis tersebut
4.      mencatat jenis, wujud, bentuk penanda referensial beserta kalimat atau paragraf dalam korpus data
5.      memberikan penomoran pada korpus data
6.      mengklasifikasi korpus data yang sudah diberi tanda sesuai dengan kriteria yang sudah ditentukan

Metode dan Teknik Analisis Data
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode agih, yaitu metode yang alat penentunya merupakan bagian dari bahasa yang bersangkutan, yaitu berupa wacana tulis yang dibentuk dengan menggunakan bahasa. Teknik dasar yang digunakan adalah teknik bagi unsur langsung yaitu cara yang digunakan pada awal kerja analisis dengan membagi satuan lingual data menjadi beberapa bagian atau unsur, dan unsur-unsur yang bersangkutan dipandang sebagai bagian yang langsung membentuk satuan lingual yang dimaksud (Sudaryanto 1993:31). Jadi wacana yang dianalisis berupa penggalan-penggalan wacana yang terdiri atas klausa dan kalimat.
Langkah pertama yang dilakukan adalah membagi wacana menjadi penggalan wacana. Data dianalisis dengan menggunakan teknik ganti yaitu dengan mengganti penanda referensial dengan satuan lingual (anteseden) yang dapat diterima (gramatikal). Perhatikan contoh berikut.

a)       “Saya sungguh gembira mendapat kepercayaan begitu besar dari Arsene Wenger. Saya pun akan memberikan segalanya dan berharap bisa menjadi salah satu pemain andalan bagi Arsenal,” kata Baptisa yang untuk pertama kali tampil di Stadion Emirates.
b)      Baptisa sungguh gembira mendapat kepercayaan begitu besar dari Arsene Wenger. Baptisa pun akan memberikan segalanya dan berharap bisa menjadi salah satu pemain andalan bagi Arsenal,” kata Baptisa yang untuk pertama kali tampil di Stadion Emirates.

Penggalan wacana di atas terdiri atas dua kalimat satuan lingual pada kalimat pertama dianalisis dengan menggunakan penggantian anteseden yang berada pada kalimat kedua apabila penggalan wacana tersebut berterima maka satuan linggual tersebut merupakan penanda referensial.
.
Metode Pemaparan Hasil Akhir
Penyajian hasil analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode penyajian informal karena hasil analisis data berisi paparan tentang segala hal yang dimaksudkan agar penjelasan tentang kaidah yang ditemukan menjadi lebih terperinci dan terurai. Metode penyampaian informal adalah perumusan dengan kata-kata biasa walaupun dengan terminologi yang taknis sifatnya. Penyajian metode secara informal ini disesuaikan dengan karakter data yang tidak memerlukan tanda-tanda atau lambang
.



















D.     JENIS DAN WUJUD PENANDA REFERENSIAL DALAM WACANA TULIS DI RADAR BANYUMAS


Jenis Penanda Referensial dalam Wacana Tulis di Surat Kabar

Berdasarkan tempatnya, apakah acuan itu berada di dalam teks atau di luar teks, maka pengacuan dibedakan menjadi dua jenis: (1) pengacuan endofora apabila acuannya (satuan yang diacu) berada atau terdapat di dalam teks, dan (2) pengacuan eksofora apabila acuannya berada atau terdapat di luar teks wacana. Jenis penanda referensial berdasarkan tipenya meliputi (1) referensi persona, (2) referensi demonstratif, dan (3) referensi komparatif.

(1)   Referensi Berdasarkan Tempat Acuannya

Penanda referensial sering juga disebut pengacuan. Berdasarkan tempat acuannya, apabila interpretasi itu terletak di dalam teks itu sendiri maka relasi itu dinamakan relasi endofora. Adapun jika interpretasi terhadap kata itu terletak di luar teks maka relasi itu disebut relasi eksofora.

Endofora

Apabila acuannya (satuan lingual yang diacu) berada atau terdapat di dalam teks wacana maka disebut referensi endofora. Dengan kata lain, mengacu terhadap anteseden yang terdapat di dalam teks (intratekstual). Jenis referensi ini berdasarkan arah acuannya dibedakan menjadi dua macam, yaitu a) referensi anaforis (anaphoric reference) dan b) referensi kataforis (cataphoric reference).

a.       Anaforis

Referensi anaforis adalah pengacuan yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu terhadap satuan lingual yang lain yang mendahuluinya, atau mengacu terhadap anteseden sebelah kiri, atau mengacu terhadap unsur yang telah disebut terdahulu. Penggalan wacana (1) berikut merupakan wacana tulis yang mengandung referensi endofora anaforis. Berikut data dan analisisnya.

(1)   Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan (Dispertanhut) Purbalingga Ir. Lily Purwati yang menghadiri penyerahan bantuan benih di desa Langgar Kecamatan Kejobong merasa sangat gembira.”Saya begitu gembira, ternyata pengurus-pengurusnya muda-muda. Ini cukup bagus untuk regenerasi petani,”
(14 / Radar Banyumas 11 Desember 2010)

Pada pengalan wacana (1) terdapat pronomina persona pertama tunggal ‘saya’ secara anaforis. Wujud penanda referensial saya mengacu terhadap anteseden ‘Ir. Lily Purwati’ yang terletak di sebelah kiri atau kalimat sebelumnya. Penggunaan pronomina saya dimaksudkan untuk mempersonakan orang pertama tunggal atau orang yang melakukan tuturan tersebut (Ir. Lily Purwati), sehingga kesan komunikatifnya dapat lebih ditangkap oleh pembaca. Unsur ‘saya’ merujuk silang pada unsur di dalam wacana, bersifat endofora karena di dalam wacana tersebut didapatkan unsur yang merujuk silang pada ‘saya’ sebagai pronomina persona pertama tunggal. 

b.      Kataforis

Referensi kataforis merupakan pengacuan yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lain yang mengikutinya, atau mengacu terhadap anteseden di sebelah kanan, atau mengacu terhadap unsur yang baru disebutkan kemudian. Penggalan wacana (2) berikut merupakan wacana tulis yang mengandung referensi endofora kataforis. Berikut data dan analisisnya.

(2)   Saya mendukung sepenuhnya perjuangan PSCS untuk menjadi juara. Memang, saya tidak bisa menonton langsung tiap pertandingan, tapi sebagai warga Cilacap saya pasti ikut senang kalau PSCS bisa berkiprah di tingkat nasional dan menjadi juara,” kata Akhmad warga desa Mulyasari Kabupaten Cilacap.
(13 / Radar Banyumas 11 Desember 2010)

Pada pengalan wacana dialog (2) terdapat pronomina persona tunggal ‘saya’ yang mengacu pada unsur lain yang berada di dalam tuturan (teks) yang disebutkan sesudahnya. Berdasarkan ciri-ciri yang terdapat dalam tuturan (2), saya merupakan wujud dari penanda referensial endofora (acuannya berada di dala teks), yang bersifat kataforis (acuannya disebutkan sesudahnya atau antesedennya berada disebelah kanan) melalui satuan lingual berupa pronomina persona pertama tunggal. Wujud penanda referensial saya mengacu terhadap anteseden ‘Akhmad’ yang terletak di sebelah kanan yaitu orang yang menuturkan tuturan tersebut.


Eksofora

Referensi eksofora adalah relasi pengacuan yang acuannya berada atau terdapat di luar bahasa (ekstratektual). Dengan kata lain, anteseden yang diacu berada di luar bahasa. Penggalan wacana (3) berikut ini merupakan wacana tulis yang menganduang referensi eksofora.

(3)   Jika Anda berkunjung ke salah satu kedai di Jalan Mawar Cilacap, maka Anda akan melihat beberapa anak muda yang sedang nongkrong.
(13 / Radar Banyumas, 11 Desember 2010)

Penanda referensial ‘Anda’, mengacu terhadap pembaca wacana. Pembaca merupakan acuan yang berada di luar bahasa (ekstratektual). Berdasarkan ciri-ciri seperti yang disebutkan maka Anda dalam tuturan (3) merupakan penanda referensial yang bersifat eksofora (acuannya berada di luar teks). Unsur ‘Anda’ merujuk silang pada unsur di luar konteks bahasa, bersifat eksofora karena di dalam wacana tersebut tidak didapatkan unsur yang dirujuk silang oleh ‘Anda’ sebagai pronomina persona kedua tunggal.



Referensi Berdasarkan Tipe Satuan Lingual

Referensi berdasarkan tipe satuan lingual yang terdapat dalam wacana tulis di surat kabar meliputi tiga tipe, yaitu: (1) referensi persona, (2) referensi demonstratif, dan (3) referensi komparatif. Ketiga tipe tersebut didasarkan pada satuan lingual tertentu yang membentuk penanda referensial. Satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain itu dapat berupa persona (kata ganti orang), demonstratif (kata ganti penunjuk), dan komparatif (satuan lingual yang berfungsi membandingkan antara unsur yang satu dengan unsur yang lainnya.

1)      Referesi Persona

Penanda hubungan kohesif referensial tipe persona adalah penanda hubungan antara bagian wacana yang satu dengan yang lainnya melalui persona. Referensi persona merupakan salah satu cara yang digunakan untuk membuat keutuhan topik dalam sebuah paragraf, yaitu dengan menggantikan anteseden dengan menggunakan pronomina persona. Apa yang digantikan itu disebut anteseden.
Pronomina merupakan kelas kata yang berfungsi sebagai pengganti nomina. Pronomina persona digunakan dalam sebuah wacana yang mengacu kepada orang atau bisa disebut kata ganti orang. Referensi persona dapat mengacu pada diri sendiri (referensi persona pertama), pada orang yang diajak bicara (referensi persona kedua), dan orang yang dibicarakan (referensi persona ketiga). Dalam penelitian ini ditemukan tiga jenis referensi persona yaitu (1) referensi persona pertama, (2) referensi persona kedua, dan (3) referensi persona ketiga. Berikut data dan analisisnya.

(4)   Kami memang fokus untuk memenuhi kebutuhan internal, jadi peserta dari luar kami  batasi,” terang Ketua Panitia PPGD (Pelatihan Penanggulangan Penderita Gawat Darurat) Bambang Riadiyono Skep Ns.

Pada penggalan wacana (4), ‘kami’ merupakan penanda referensial persona yang berfungsi mempersonakan orang pertama jamak. Penanda referensial kami bersifat eksklusif yaitu mengacu terhadap pembicara dan orang lain dipihaknya, tidak mencangkupi orang orang lain dipihak pendengar. ‘Kami’ pada penggalan wacana di atas mengacu terhadap pembicara (Bambang Riadiyono Skep Ns) dan orang lain dipihaknya (Panitia PPGD (Pelatihan Penanggulangan Penderita Gawat Darurat), tidak mencangkupi orang orang lain dipihak pendengar. Berdasarkan arah acuannya penggalan wacana tersebut bersifat anaforis, karena menggantikan anteseden disebelah kiri atau kalimat sebelumnya

2)      Referensi Demonstratif

Penanda hubungan kohesif referensial tipe demonstratif adalah penanda hubungan antara bagian wacana yang satu dengan yang lainnya dengan menggunakan demonstratif. Demonstratif adalah kategori yang berfungsi untuk menunjukkan sesuatu di dalam maupun di luar wacana.  Referensi demonstrstif membuat keterkaitan topik dalam sebuah paragraf, yaitu menggantikan anteseden dengan menggunakan kata ganti tunjuk. Pronomina penunjuk dalam penelitian ini ada empat macam, yaitu (1) pronomina penunjuk umum (2) pronomina penunjuk tempat (3) pronomina penunjuk ihwal, dan (4) penunjuk adverbia. Berikut adalah penggalan wacana dan analisisnya.

(5)   Kegiatan yang merupakan kerja sama RSUD Banyumas dengan PKDGI RS Hasan Sadikin Bandung, dilaksanakan di Aula BBKBN RSUD Banyumas. Sementara kepanitiaan pelaksanaan pelatihan ini, sebagian besar dari staf perawat fungsional, keperawatan gawat darurat dan kritis.

Penggalan wacana (5) terdapat jenis penanda referensial demonstratif, yaitu dengan menggunakan pronomina penunjuk umum ‘ini’. Pengacuan yang dibentuk dengan pronomina penunjuk umum ‘ini’ pada penggalan wacana di atas berfungsi sebagai penanda referensial. Pelatihan ini merupakan penanda penujukan yang acuannya berada di luar bahasa (teks) atau bersifat eksofora. Ini yang didahului nomina umum pelatihan ini merujuk pada kegiatan waktu penulis melakukan tuturan tersebut yaitu PPPGD (Pelatihan Penanggulangan Penderita Gawat Darurat)

3)      Referensi Komparatif
Referensi komparatif dalam bahasa Indonesia berkenaan dengan pembandingan dua wujud, atau lebih meliputi tingkat kualitas atau intensitasnya dapat setara atau tidak setara. Tingkat setara disebut ekuatif; tingkat yang tidak setara dibagi dua: tingkat komparatif dan tingkat superlatif.

(6)   Ineke mendapat hidayah Ramadhan tahun 2000. Saat itu dia mendengarkan ceramah seorang ustad yang menyentuh hatinya. Dia bertekad lebih dekat dengan Tuhan.
(17/Radar Banyumas, 12 Desember 2010)

Pada penggalan wacana (6) terdapat penanda referensial yang berupa bentuk komparatif lebih… pada kalimat Dia bertekad lebih dekat dengan Tuhan. Maujud yang dibandingkan jelas dan bisa dipahami, Ineke merasa lebih dekat dengan Tuhan dari pada sebelumnya. Berdasarkan sifatnya maka penanda referensial ini bersifat eksoforis

Wujud Penanda Referensial
Wujud penanda referensial yang ditemukan dalam penelitian ini meliputi saya, kami, kita, kamu, dia, mereka, ini, dan itu.


Saya
Saya merupakan wujud penanda referensi persona dengan menggunakan pronomina persona pertama tunggal. Saya biasa digunakan sebagai kata ganti dalam acara resmi. Penanda referensial ini, digunakan untuk mempersonkan orang pertama yang sifatnya tunggal. Berikut ini data dan analisis wacana yang menggunakan kata ganti persona pertama tunggal.

(7)    “Uang ini akan saya gunakan untuk makan karena memang saya tidak punya duit,” kata ibu lima anak ini.

1 komentar:

Posting Komentar